Upaya penyeragaman dan mencetak generasi modern oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui pendidikan pada abad 19, membuat para ulama melakukan penolakan. Tak terkecuali KHR Asnawi yang menentang kebijakan itu dan memilih untuk mendirikan sekolah berbeda benama Madrasah Qudsiyyah.
Saat ditemui Tim Lipsus Beta News, KH Hanafi, seorang guru di Madrasah Qudsiyyah, Kudus, menjelaskan, saat itu KHR Asnawi telah pulang dari Mekah, setelah bermukim selama 25 tahun. KHR Asnawi menilai, kebijakan politik etis dari Pemerintah Belanda tersebut hanya untuk mengelabuhi masyarakat pribumi.
Dia menjelaskan, politik etis atau juga disebut politik balas budi dinilai sejumlah ulama sebagai upaya Belanda memodernkan pribumi. Melalui sekolah tersebut mereka mendoktrin pribumi, agar bisa disetir dan mereka tetap berkuasa.
Beliau membuat kurikulum sendiri, dan berpatokan pada ajaran Hijriah, mulainya ya bulan syawal
KH Hanafi, guru Madrasah Qudsiyyah
“Di sini pendidikan paling tua kan pesantren, agar bisa didoktrin dan dikendalikan maka diarahkan untuk sekolah. Dan hal itu bisa dipahami betul oleh kiai-kiai selevel KHR Asnawi dan KH Hasyim Asyari,” ungkap KH Hanafi saat ditemui dikediamannya, beberapa waktu lalu.
“Jadi beliau tidak menerapkan hukum srampangan, tetapi sesuai kondisi. Karena mengenakan celana setelah merdeka tidak menjadi masalah. Untuk wujud perlawanan yang lain saya kurang tahu. Namun ada salawat asnawiyah itu katanya diciptakan saat kemerdekaan,” terangnya.