Menurutnya, melalui sekolahan, masyarakat pribumi akan dijauhkan dari pendidikan di pesantren. Dengan menjadi orang modern, masyarakat akan dijauhkan dari kepercayaan hal-hal gaib. Dan hal itu dipahami para ulama, di antaranya KHR Asnawi, yang kemudian mendirikan sekolah tanpa mengikuti kurikulum pendidikan Belanda.
“Beliau membuat kurikulum sendiri, dan berpatokan pada ajaran Hijriah, mulainya ya bulan syawal. Dan pelajarannya juga pelajaran agama semua. Seperti kelompok belajar tetapi juga ada jenjang kelasnya,” katanya.
Saat awal mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah Qudsiyyah pada 1919 itu, proses belajar masih dilakukan di emperan Masjid Menara. Proses pembelajaran di Qudsiyyah bukan tanpa perjuangan. Karena ada pelarangan dari pihak Belanda, sekolahnya masih sembunyi-sembunyi, dan terkadang proses belajar dilakukan di rumah-rumah warga. .
“Dulu sekolah hanya di emperan masjid, kadang di rumah-rumah warga. Sepengetahuan saya, setelah tahun 1968-1969 baru mendirikan gedung yang sekarang ini,” terangnya.
Ia juga mengungkapkan, bahwa jauh sebelum Madrasah Qudsiyyah sudah ada sekolah yang bernama Muamanatul Muslimin. Sekolah tersebut didirikan kakek buyut mertua KHR Asnawi pada tahun 1818. Namun sekolah tersebut tidak berlanjut dikarenakan adanya tekanan dari Pemerintah Belanda kala itu.
KHR Asnawi adalah orang yang dikenal benci kepada Belanda. Saking bencinya terhadap penjajah, dirinya menolak cara berpakaian orang Belanda. Bahkan, dia pernah mengharamkan pribumi mengenakan celana karena mirip Belanda.