BETANEWS.ID, PATI – Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Pati mencapai angka 566. Dari jumlah tersebut, diketahui 4 orang di antaranya meninggal dunia.
Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kabupaten Pati dr Aviani Tritanti Venusia mengatakan, jumlah kasus tersebut terhitung sejak Januari 2024 hingga pertengahan November 2024.
”Kasus demam berdarah dengue yang ada di Kabupaten Pati sampai bulan November hari ini tercatat ada 566 kasus. Itu dari bulan Januari sampai November ini. Dengan kematian 4 orang,” ujarnya, Jumat (15/11/2024).
Baca juga: Kasus Demam Berdarah Meningkat, Pemkab Pati Galakkan Fogging
Ia menyebut, rata-rata mereka yang terjangkit demam berdarah itu adalah anak-anak. Bahkan mayoritas korban DBD berada di usia anak. Yakni korban meninggal dunia dengan usia 7 tahun sebanyak 2 orang, korban usia 8 tahun 1 orang dan korban dengan usia 13 tahun sebanyak 1 orang.
Kadis menjelaskan, tingginya kasus DBD di Kabupaten Pati ada beberapa faktor. Mulai dari masih banyaknya jentik-jentik nyamuk di lingkungan rumah hingga sekolah, hingga mobilitas warga.
”Faktornya jentik-jentik nyamuk masih banyak. Sehingga memungkinkan adanya peningkatan kasus DBD di Kabupaten Pati. Kemudian mobilitas penduduk. Seperti dulu di Desa Jrahi tidak ada kasus tapi tahun ini ada kasus. Ini karena mobilitas tinggi,” ungkapnya.
Faktor lainnya, kata Aviani, yakni cuaca saat ini yang belum sepenuhnya memasuki musim hujan di bulan November. Cuaca yang tak menentu seperti saat ini, dinilai membuat perkembangan nyamuk semakin banyak.
”Cuaca juga memperngaruhi. Kelembapan seperti ini, nyamuk senang berkembang. Hujan, panas, hujan panas kayak seperti saat ini,” sebutnya.
Baca juga: Bikin Ribet, Petani Tolak Pembelian Solar Pakai Aplikasi XStar, Pendemo: ‘Koyo Open BO’
Ia pun berharap, kasus DBD di Kabupaten Pati tidak bertambah. Untuk itu, dirinya selalu menggemborkan tentang pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
”Harapan kami cukup sampai di sini saja. Upaya khusus selalu digemborkan, yakni PSN pemberantasan sarang nyamuk minimal sekali seminggu. Tapi memang gerakan ini nggak familier di masyarakat. Mereka memintanya fogging, fogging, fogging. Padahal ada bahayanya dan biayanya,” pungkasnya.
Editor: Ahmad Muhlisin