31 C
Kudus
Rabu, September 18, 2024

Kisah Rosyid, Penggembala Kambing yang Jadi Guru Besar di IAIN Kudus

BETANEWS.ID, KUDUS – Gigih, mungkin menjadi pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan laku hidup Moh Rosyid. Sejak kecil, pria yang lahir pada 14 Juni 1972 di Desa Bungo, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah itu memang sudah ditempa dengan kondisi ekonomi yang jauh dari kata mapan.

Putra pasangan Muin Zainudin dan Rusmina itu merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, Rosyid sapaan akrabnya memang sudah sering membantu orang tua. Mulai dari ternak ayam kampung hingga menggembala kambing.

Baca Juga: KPI IAIN Kudus Siapkan Talenta Terbaik untuk Meka TV

-Advertisement-

Ia mengaku, ketika menggembala kambing, dirinya selalu memangdang keindahan Gunung Muria dari kejauahan. Meski menikmati keseruan hidup di pesisir Demak, Rosyid kecil sudah memiliki keinginan untuk hidup di Kota Ktretek.

“Saat menggembala yang saya lihat ya Gunung Muria. Bagi saya Muria itu indah, dari dulu memang pengen hidup di Kudus. Mungkin pas saya mbatin itu didengar Tuhan,” katanya sambil tertawa.

Rosyid cukup dekat dengan ayahnya. Dia sering kali menemani ayahnya ketika menulis materi Khudbah Jumat. Suatu ketika, ayahnya berpesan, kelak jika sudah dewasa Rosyid diminta untuk menjadi seorang penulis. Pesan itulah yang selalu ia ingat, menjadi memotivasi Rosyid untuk terus belajar dan semangat menulis.

Memasuki Madrasah Tsanawiyah, Rosyid mengaku sering membaca buku-buku filsafat milik saudaranya yang sudah menjadi mahasiswa. Meski tidak paham, ia masih terus membacanya. Hal itu dilakukan karena Rosyid termotivasi ingin pandai seperti saudaranya itu.

“Sambil menggembala kambing, saya sering baca-baca buku filsafat punya kakak yang anaknya Pakde. Kakak saya itu merupakan satu dari tiga mahasiswa di Desa saya. Meski tidak paham, tapi saya suka saja baca buku-bukunya,” katanya sambil mengenang masa kecil.

Singkat cerita, pada tahun 1991 Rosyid akhirnya kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang. Sebenarnya ia ingin kuliah di Universitas Diponegoro, namun terkendala biaya.

Meski belum bisa kulaih di kampus impiannya, Rosyid mengaku tetap semangat menjalani aktivitas di kampus. Untuk menambah uang saku, dia juga pernah ikut saudaranya jualan boneka.

Selama menjadi mahasiswa, ia pernah menulis tentang revitalisasi madrasah yang terbit di Majalah Rindang. Menurutnya, ide tersebut muncul lantaran madrasah kala itu belum mendapatkan perhatian dari pemerintah.

“Isinya lebih pada kritikan ke pemerintah. Itu tulisan pertama saya yang dimuat di Majalah Rindang, edisi Oktober. Saya masih menyimpannya hingga sekarang,” terang Rosyid saat ditemui di rumahnya, Kamis (22/8/2024).

Setelah mendapat gelar sarjana, ia kemudian menjadi dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus pada tahun 2003. Dan pada tahun 2005, Rosyid mengambil beasiswa S2 di Universitas Negeri Semarang, Jurusan Bahasa Indonesia.

“Tahun 2008 ada beasiswa lagi, saya kulaih S2 lagi di Undip, ambil jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya. Kemudian tahun 2010 juga dapat beasiswa dari Kementerian Agama, program 5000 doktor. Saya ambil Kajian Islam di IAIN Walisongo Semarang, karena belum jadi UIN dulu. Waktu itu saya kuliah S2 dan S3 bersamaan,” beber pria yang sudah dikaruniai dua orang anak itu.

Hingga akhirnya di tahun 2014, Rosyid mendapat gelar doktor. Selama menempuh pendidikan tersebut, ia mengaku tidak ada kendala yang serius dan mengalir begitu saja.

Dia baru merasakan tantangan ketika mengejar gelar guru besarnya. Bahkan, dirinya mengaku sempat ada di titik jenuh lantaran jurnal penelitiannya tak kunjung lolos di Scopus.

“Scopus itu untuk menerbitkan jurnal internasional. Sangking banyaknya jurnal yang harus diseleksi, saya butuh menunggu tiga tahun untuk lolos. Pertama yang lolos jurnal Al Ihkam, Tradisi Rebo Wekasan di Dasa Jepang, Mejobo Kudus. Itupun harus revisi lagi hingga enam kali,” kata pria yang sudah menetap di Kayuapu, Gondangmanis, Bae, Kudus itu.

Selang dua tahun, jurnal kedua berjudul Arsitektur Islam, Makna Ornamen di Masjid Langgardalem, Kecamatan Kota, Kudus pun bisa terbit di Scopus. Dan dua tahun berikutnya baru jurnal ketiga, Makna Ornamen Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan, Kecamatan Tahunan, Jepara. Selain tiga jurnal internasional yang disyaratkan, Rosyid juga harus menulis satu buku sesuai bidang keilmuan untuk mendapat gelar guru besar.

“Saya menulis buku pengantar sejarah. Kalau jurnal, total yang saya kirim ada tujuh. Bisa lolos tiga itu butuh waktu sekitar tujuh tahun. Yang tidak lolos saya kirim ke Sinta 2, itu standar nasional,” ungkap pria yang memiliki hobi membaca dan berkebun itu.

Tepat pada 21 Agustus 2024, waktu yang dinatikan Rosyid pun tiba. Pria yang aktif di Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Tengah serta Komunitas Lintas Agama dan Penghayat Kepercayaan itu akhirnya dikukuhkan menjadi Guru Besar IAIN Kudus.

Baca Juga: Fitalia Rohmawati, Anak Buruh Pabrik Lulusan IAIN Kudus dengan IPK 3,99

Ia menambahakan, bahwa untuk mempertahankan gelar tersebut bukanlah hal yang mudah. Kini dirinya dituntut untuk terus menulis, minimal satu jurnal internasional, satu jurnal nasional dan satu buku tentang keilmuannya setiap tiga tahun.

“Jadi memang jalan ini yang saya pilih, agar saya tidak berhenti menulis. Saat ini sedang proses menulis keistimewaan Aceh. Tentang tradisi di Aceh yang rencana mau jadi buku,” tambah pria yang pernah menulis tentang komunitas minoritas Samin, Umat Agama Baha’i, Penghayat Sapto Darmo, Tarekat Syahadatain dan Muslim Rifaiyah itu.

Editor: Haikal Rosyada

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

42,000FansSuka
13,322PengikutMengikuti
30,973PengikutMengikuti
144,000PelangganBerlangganan

TERPOPULER