BETANEWS.ID, PATI – Jawa Tengah, dulu sempat memiliki cukup banyak pabrik gula. Namun, dalam perkembangannya, banyak pabrik-pabrik gula yang gulung tikar.
Bahgkan menurut Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (FS PPP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Tengah, Joko Amperiyanto, setidaknya di Jateng dahulunya ada 17 pabrik gula.
“Sekarang yang masih aktif 8 dan yang masih eksis produksi hanya lima, yaitu PG (Pabrik Gula) Trangkil Pati, PG Pakis Pati, PG Rendeng Kudus, PG Gendis Manis Blora, dan PG Cepiring Kendal,” ujarnya, belum lama ini.
Baca juga: Setelah Merdeka Industri Gula Meredup, Zaman Soeharto Makin Jatuh (4/5)
Dari lima pabrik tersebut, yang produksinya terbesar adalah PG Trangkil, yakni 100 ribu kuintal dalam sehari semalam. Sedangkan untuk lainnya, seperti halnya PG Rendeng dan PG Pakis mampu memproduksi 40 ribu kuintal sehari.
Menurutnya, banyaknya pabrik gula yang tutup tersebut, di antaranya karena faktor regulasi yang salah dari pusat. Begitu pula dengan revitalisasi mesin yang disebutnya sangat terlambat. Sebab, kebanyakan mesin milik pabrik gula yang ada di Indonesia adalah peninggalan Belanda.
“Yang paling menghancurkan adalah ketika terjadi krisis moneter dan di 2000. Banyak gula mentah yang masuk dari luar. Dari Thailand khususnya dan dari Australia,” ungkapnya.
Banyaknya raw sugar untuk rafinasi dari negara-negara tersebut, karena mereka kelebihan produksi. Kalau hal itu dibiarkan, menurutnya petani akan berkurang dan tidak mau menanam tebu, sebab keuntungannya turun.
Baca juga: Ironi Negeri Agraris, Dulu Pengekspor Gula Terbesar di Dunia, Kini Jadi Pengimpor (1/6)
“Jadi begini, kenapa gula rafinasi ini bisa menghancurkan kita? Karena harga raw sugar dari luar sangat-sangat murah sekali. Karena mereka tidak bisa menyimpan, sehingga mereka harus menjual semurah-murahnya ke Indonesia,” imbuhnya.
Kalau ketergantungan raw sugar terjadi, maka akibatnya, secara ekonomi akan dijajah. Di antaranya Brasil, Australia dan Thailand. Sebab, mereka adalah produsen gula terbesar.
Kemudian katanya, yang menghancurkan harga gula di pasaran adalah, karena raw sugar tersebut boleh diproses, yakni gula rafinasi.
“Gula rafinasi itu sebenarnya malah sehat. Karena belinya murah, prosesnya singkat, maka harga jualnya di bawah harga yang diproduksi pabrik kita sendiri. Proteksi itu sebenarnya sudah ada, yaitu gula rafinasi itu tidak boleh dijual secara umum, penjualannya langsung ke pabrik makanan dan minuman. Seperti teh dan biskuit,” ucapnya.
Baca juga: PG Rendeng Kudus Target Produksi 15 Ribu Ton Gula di Tahun 2023
Namun pada kenyataannya, sebutnya, banyak kebocoran. Ia mencontohkan kebocoran itu seperti yang ada di toko-toko modern. Di sana banyak gula rafinasi yang dijual untuk umum. Untuk itu, pihaknya berharap pemerintah mengeluarkan regulasi yang menguntungkan bagi petani.
“Akibatnya ini memukul banyak petani. Karena harga gula turun. Ini yang menjadi keresahan kita,” imbuhnya.
Editor: Ahmad Muhlisin