Prosesi pasuwitan adat Sedulur Sikep. Foto: Rabu Sipan

Malam itu, suasana tampak ramai di satu rumah milik warga Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Kabupaten Kudus. Di depan rumah terpasang teratak dan meja kursi yang tertata rapi. Warga berpakaian serba hitam-hitam terlihat sibuk, dan beberapa di antaranya duduk di kursi yang telah disediakan.

Rumah tersebut adalah milik warga Sedulur Sikep di Kaliyoso bernama Gundono. Malam itu, dia punya gawe untuk mengawinkan putrinya bernama Tiya, dipersunting lelaki perjaka bernama Eko yang juga warga penganut ajaran Samin Surosentiko.

Sejumlah tokoh masyarakat hadir dalam acara perkawinan, yang oleh Sedulur Sikep disebut Pasuwitan. Di antaranya yang hadir, Kepala Desa Karangrowo, tokoh agama Islam desa setempat, tokoh agama Katholik dan sejumlah tokoh lintas agama lainnya. Para tetangga yang bukan dari kalangsan Sedulur Sikep juga tampak hadir membantu menyiapkan hidangan.

Di sela acara, Gunretno, tokoh Sedulur Sikep asal Sukolilo, Pati, sudi berbagi penjelasan kepada Tim Liputan Khusus Betanews.id. Dia menjelaskan prosesi adat perkawinan Sedulur Sikep tersebut. Gunretno menjelaskan, prosesi perkawinan ini dalam istilah Sedulur Sikep disebut pasuwitan. Dalam prosesi ini, mempelai laki-laki mengucap janji untuk hidup rukun bersama selamanya.

Kalau sudah mengucap janji, mempelai perempuan sudah sah menjadi milik mempelai laki-laki. Karena sudah sah, tata kehidupan sebagai orang Sikep sudah dilakukan.

Gunretno, Tokoh Sedulur Sikep

“Kalau sudah mengucap janji, mempelai perempuan sudah sah menjadi milik mempelai laki-laki. Karena sudah sah, tata kehidupan sebagai orang Sikep sudah dilakukan. Nah ini sudah bisa dianggap orang Sikep. Kalau belum melakukan pasuwitan belum bisa dianggap sebagai orang sikep, masih adam timur,” ujar Gunretno.

- advertisement -

Gunretno hadir dalam acara pasuwitan tersebut, karena orang tua Tiya, Gundono adalah adik kandungnya. Dia hadir dan menjadi perwakilan keluarga besar untuk menyampaikan sambutan.

Prosesi pasuwitan, kata Gunretno, diawali dengan proses ngendek. Artinya, calon mempelai laki-laki menanyakan kepada orang tua mempelai perempuan, apakah perempuan yang diharapkan jadi istrinya sudah ada calon atau belum. Jika tidak ada calon, proses selanjutnya dilakukan proses pasuwitan.

“Nah, setelah dijawab orang belum ada calon, mempelai laki-laki kemudian mengucapkan janji, janji sekali untuk selamanya,” tuturnya.

Menurut Gunretno, pernikhan Sedulur Sikep tidak perlu dicatatkan oleh pemerintah. Yang penting kedua orang tua sudah saling sepakat. Adat ini sudah dijalankan Sedulur Sikep sejak lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

“Sejak dulu perkawinan Sedulur Sikep ya seperti ini, tidak perlu ada catatan di pemerintah. Prosesi seperti ini sudah berlangsung bahkan sebelum ada Republik Indonesia,” ujar Gunretno.

Jika ada orang di luar Sedulur Sikep ingin menikahi warga Sikep, Gunretno menyatakan tidak menjadi masalah. Namun, proses penikahannya harus dilangsungkan sesuai adat Sikep. Prosesi pasuwitan harus tetap dijalankan. Dia berharap, prosesi pasuwitan ini akan tetap diuri-uri sampai kapanpun.


Tim Liputan: Ahmad Rosyidi, Rabu Sipan, Kaerul Umam (Reporter, Videografer). Suwoko (Editor Berita). Andi Sugiarto (Editor Video). Kholistiono, Ahmad Muhlisin, Lisa Mayna, Suwoko (Translator).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini