Anak Sedulur Sikep Sukolilo, Pati. Foto: Rabu Sipan

Masyarakat Sedulur Sikep sejak dulu tidak mengenal sekolah formal. Hal itu sejalan dengan ajaran Samin Surosentiko yang menolak sekolah karena dibuat oleh penjajah Belanda. Meski zaman sudah berubah, Indonesia sudah lepas dari penjajah, namun orang Sikep tetap mempertahankan hal tersebut hingga kini.

Ditemui di kediamannya di Sukolilo, Pati, Gunretno, tokoh Sedulur Sikep Sukolilo, Pati, sudi berbagi penjelasan kepada Tim Liputan Khusus Betanews.id. Meski tak sekolah, dia menyatakan masyarakat Sikep tetap belajar. Tidak sekolah bukan berarti tidak belajar, karena bagi orang Sikep belar itu wajib selagi manusia masih hidup.

Dia menjelaskan, belajar bagi orang Sikep bertujuan untuk memperbaiki perilaku dan ucapan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang Sikep cukup bertani, sebagaimana para leluhur mengajarkan mereka dalam hidup. Oleh karenanya, orang Sikep cukup belajar dari orang tuanya.

“Orang Sikep memang tidak sekolah, itu yang diajarkan oleh leluhur kami. Tapi bukan berarti kami tidak belajar. Bagi kami belajar itu untuk benerno laku becikno ucapan. Selagi orang masih hidup, wajib terus belajar,” tutur Gunretno kepada Tim Liputan Khusus Betanews.id, saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.

Sekolah itu sesek lehe polah, itu kata sesepuh kami. Kalau sudah sekolah nanti bisa lupa pertaniannya, tidak sregep lagi menggarap sawah

Gunretno, tokoh Sedulur Sikep

Gunretno pernah ingat nasehat dari para sesepuh Sedulur Sikep tentang sekolah. Para sesepuh khawatir, sekolah bisa membuat seseorang ingin memiliki jabatan. Kalau sudah sekolah nanti hanya akan berlomba-lomba memcari pekerjaan, tidak lagi mau menggarap sawah.

- advertisement -

“Sekolah itu sesek nek polah, itu kata sesepuh kami. Kalau sudah sekolah nanti bisa lupa pertaniannya, tidak sregep lagi menggarap sawah,” tuturnya.

Namun, dirinya sadar zaman sudah berubah dan kini terjadi pula apa yang dinamakan globalisasi. Ada kekhawatiran, apakah hanya dengan bertani masyarakat Sikep bisa bertahan, sedangkan kebutuhan sekarang sangat beragam.

“Dulu saya pernah nembung ke sesepuh Sikep, apakah boleh anak-anak Sikep belajar membaca dan menulis. Belajar agar mereka cukup tahu membaca dan menuli. Dulu dijawab tidak apa-apa,” kenang Gunretno.

Akhirnya sejak saat itu, dirinya mengajari anak-anak Sikep belajar membaca dan menulis. Meski tidak ada bangunan khusus yang disiapkan seperti sekolah formal, ana-anak Sikep kemudian banyak yang bisa membaca dan menulis.

Gunretno tidak menampik, jika dirinya butuh juga untuk paham teknologi. Dirinya memiliki komputer dan handphone untuk mengembangkan wawasan. Tapi, hal tersebut kemudian menjadi kekhawatiran dan menimbulkan keresahan di kalangan sesepuh Sikep. Sada suatu ketika dirinya dipanggil oleh para sesepuh Sikep mempertanyakan dampak penggunaan teknologi.

“Intinya mereka khawatir bagaimana nanti orang Sikep jadinya. Saya jawab, apa yang tidak menggunakan teknologi apa yang menggunakan alat seperti ini (komputer dan handphone) tidak bisa mengutuhkan tata cara Sikep, atau yang tidak menggunakannya bisa semakin utuh, buktinya bisa dilihat nanti,” jelasnya.

Dia bisa membuktikan, hidup dengan piranti teknologi tidak merubah dirinya menjadi orang yang berbeda dengan orang yang memegang ajaran-ajaran Sikep. Dan budaya yang turun-temurun tetap bisa terus dijuga.


Tim Liputan: Ahmad Rosyidi, Rabu Sipan, Kaerul Umam (Reporter, Videografer). Suwoko (Editor Berita). Andi Sugiarto (Editor Video). Kholistiono, Ahmad Muhlisin, Lisa Mayna, Suwoko (Translator).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini