31 C
Kudus
Selasa, September 23, 2025

Festival Teater Pelajar Teater Djarum Kudus: Antara Naskah, Buruh, dan Politik Kebudayaan

Nur Choiruddin, Pekerja teater yang bekerja di MNC Media Group

Tulisan Imam Khanafi, “Api Kecil di Panggung Teater Kudus: Nyala dari Keringat Buruh Rokok” di mentas.id , menyodorkan perspektif penting: Festival Teater Pelajar (FTP) Teater Djarum Kudus hidup bukan karena perhatian pemerintah, melainkan dari keringat buruh rokok yang menopang dana CSR industri. Kritik itu tajam, mengingatkan kita bahwa negara (selanjutnya disebut Pemkab Kudus) sering hanya hadir sebagai penonton manis di kursi VIP!

Namun, diskusi ini sesungguhnya punya dua lapis: lapis politik kebudayaan (soal siapa yang menopang festival) dan lapis pedagogi seni (soal bagaimana festival ini mendidik pelajar). Dalam artikel saya sebelumnya, saya menyoroti lapis kedua—perdebatan naskah wajib versus naskah bebas. Imam Khanafi menambahkan lapis pertama. Keduanya tidak bertentangan, justru saling melengkapi.

-Advertisement-

Dalam konteks SMP dan SMA, teater adalah ruang belajar yang unik. John Dewey (filosof dan tokoh pendidikan Amerika) menyebut “learning by doing” sebagai inti pendidikan, yakni belajar bukan sekadar hafalan, melainkan pengalaman nyata. FTP memberi kesempatan itu.

Naskah wajib melatih kedisiplinan membaca teks, mengasah kemampuan menafsir karya sastra mapan, dan memberi standar kualitas dramatik. Naskah bebas melatih keberanian menulis, bereksperimen, dan menafsir realitas sosial secara langsung. Dan adaptasi (naskah) klasik memberi ruang dialog lintas zaman: bagaimana pelajar membaca ulang Shakespeare, Albert Camus, Rendra, atau Beckett sesuai pengalaman mereka sendiri.

Di sinilah Paulo Freire (pendidik dan filsuf Brasil) relevan: pendidikan sejati adalah praksis kebebasan—peserta didik bukan sekadar objek yang dijejali materi, melainkan subjek yang aktif menafsirkan dunia. FTP, dengan segala variasi model naskah, adalah laboratorium kecil praksis itu.

Imam Khanafi benar bahwa FTP bertahan di atas dana CSR. Ini juga mengingatkan kita pada pola patronase lama: kesenian Jawa klasik didukung keraton, ludruk dan ketoprak sering hidup dari derma para pengusaha, dan kini Festival Teater Pelajar Teater Djarum Kudus berdiri di atas keuntungan industri rokok.

Pierre Bourdieu (sosiolog Prancis) menyebut kebudayaan sebagai arena pertarungan simbolik. Dan dalam FTP, ada banyak aktor: pelajar dan guru yang berjuang mencipta (berkarya), komunitas teater yang menjadi motor penggerak, industri yang tampil sebagai patron, dan pmkab Kudus yang sering hanya mengambil legitimasi simbolik.

Di titik ini, kritik dan bidikan Imam tepat sasaran: pemkab Kudus tidak boleh sekadar menempel(kan) logo, hanya urun nama saja. UNESCO menegaskan seni pertunjukan sebagai warisan tak benda yang wajib dilindungi. FTP idealnya dan semestinya dibiayai APBD (yang di dalamnya ada DBHCHT) sebagai investasi kebudayaan, bukan sekadar ditopang keringat buruh yang namanya tak pernah disebut itu, kan Mam?

Pertanyaanmu Mam—“siapa yang menjaga FTP tetap hidup?”—dan pertanyaan saya—“bagaimana idealnya proses pembelajaran berlangsung?”—sebenarnya bermuara pada hal yang sama yakni bagaimana kebudayaan ditopang dan diwariskan.

Jika hanya fokus pada politik kebudayaan, kita berisiko melupakan dimensi pedagogis: bagaimana festival ini sungguh-sungguh mendidik pelajar. Dan jika hanya fokus pada pedagogi seni, kita menutup mata pada kenyataan pahit: tanpa dana CSR, panggung itu menjadi suwung dan bisa padam kapan saja.

Karena itu, diskusi kita harus memadukan keduanya. FTP bukan hanya ruang belajar seni, melainkan juga cermin hubungan antara rakyat, industri, dan negara.

Antonio Gramsci (Marxisist Italia) pernah menulis bahwa kebudayaan adalah medan hegemoni—siapa yang menguasainya, ia menguasai arah masyarakat. Lantas terbayangkankah nantinya arah FTP kemana? Maka yang dibutuhkan adalah koalisi kebudayaan Kudus: pemerintah hadir dengan kebijakan dan anggaran berkelanjutan, industri tetap memberi dukungan sebagai mitra, bukan penopang tunggal.

FTP sebagai harapan bisa menjadikan guru dan sekolah melahirkan generasi baru aktor, penulis, dan sutradara muda, lalu komunitas seni menjaga roh idealisme dan kebebasan, dan masyarakat memberi ruang apresiasi, kritik, dan dukungan moral. Dengan koalisi semacam ini, FTP bukan sekadar api kecil yang rawan padam, melainkan (bisa) menjelma obor bersama yang menerangi jalan kebudayaan Kudus.

Imam Khanafi juga mengingatkan kita pada peluh buruh rokok; saya ingin mengingatkan pada imajinasi pelajar. Dua-duanya penting. Tegasnya: FTP adalah hutang pemkab Kudus kepada masyarakat Kudus sekaligus hadiah pendidikan bagi generasi muda.

Jika pemkab Kudus sungguh hadir, CSR tetap mendukung, dan sekolah menjaga proses kreatif, maka Festival Teater Pelajar Kudus bukan hanya ajang kompetisi tahunan. Ia akan menjadi tradisi kebudayaan baru, tempat pelajar belajar menafsir(kan) dunia, sekaligus tempat masyarakat bercermin. Seperti yang (barangkali saja) Saya, Imam, Asa, Jessy, Uplik, Paejan, Pipiek, dan siapun saja itu, pernah memimpikanny.

Teater pelajar adalah ruang di mana disiplin bertemu kebebasan, realitas bersua imajinasi, dan politik budaya berdialog dengan pendidikan. Di situlah api kecil itu akan terus menyala—bukan hanya di panggung, tapi juga di kesadaran kita bersama.

Bravo FTP Teater Djarum Kudus.

Editor: Haikal Rosyada

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERPOPULER