BETANEWS.ID, PATI – Diantara kesenian tradisi yang ada, Pati rupanya juga memiliki seni kentrung. Kesenian berbasis cerita tutur itu rupanya dulu juga digunakan untuk syiar Agama Islam.
Seni kentrung pun coba diangkat kembali lewat pentas intim maestro kentrung Pati, Ki Djaswadi yang digelar di Desa Pekalongan, Kecamatan Winong beberapa hari lalu. Pentas itu merupakan hasil rangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional.
Baca Juga: Puluhan Sekolah di Pati Pentaskan Karya Seni dalam Program GSMS
Djaswadi menyebut, kesenian kentrung di Pati sudah ada puluhan tahun lalu. Bahkan saat berusia kurang dari 10 tahun dia sudah melihat seni tersebut. Seni itu tak sebatas permainan alat musik kentrung, melainkan lebih pada mendongeng atau cerita tutur.
“Seingat saya saat dulu masih sulit pangan. Sebelum tahun 1965 itu sudah ada,” ujar Djaswadi dalam rilisnya.
Dia menyebut, dahulu kesenian kentrung sering dimainkan oleh orang buta. Hanya saja, lambat laun para pengentrung tak punya regenerasi.
“Dulu ada semacam stigma agar tidak jadi pengentrung. Kalau jadi pengentrung nanti ikut buta. Akhirnya orang-orang itu saja yang jadi pengentrung dan tidak ada penerus,” imbuhnya.
Padahal dia menyebut tidak semua pengentrung dimainkan orang buta. Hanya saja Djaswadi menyebut, pengentrung memang dituntut untuk lebih peka dalam mengingat cerita dan dongeng.
“Dulu seni kentrung juga bisa untuk mencari pangan. Sering ditanggap untuk acara sunat atau punya bayi. Biasanya diundang untuk hiburan mendengarkan dongeng saat acara melekkan,” imbuhnya.
Djaswadi juga menyebut, cerita yang dibawakan dalam seni kentrung selain sejarah dulunya juga syiar Islam. Bahkan tak sedikit yang mengangkat cerita berlatar Timur Tengah.
“Cerita itu lambat laun banyak berubah dan menjadi bebas. Ada dongeng hingga cerita babad. Tergantung kepintaran dari pengentrungnya,” ucapnya.
Dia juga menyebut, seni kentrung dulunya banyak dimainkan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sejumlah daerah seperti Kabupaten Demak, Jepara, Pati maupun Purwodadi dulunya juga ada.
“Di desa saya dulu ada. Beberapa waktu lalu di Kecamatan Tambakromo ada kemudian di Kecamatan Tayu juga masih ada meski sudah sepuh yakni pak Suroso,” imbuhnya.
Djaswadi sendiri awalnya bukan pengentrung. Namun dia menjadi bisa, setelah seringkali melihat seni kentrung tersebut sejak masih kecil. Kini dia sering main seni kentrung. Dia pernah main di Semarang hingga Jakarta.
“Yang kami ajak main kentrung kemarin itu juga masih cucu dari pengentrung. Saya ajak sebagai Ratu Boko. Kalau saya pernah main kentrung di Semarang hingga Jakarta,” debutnya.
Sementara, Kurator Mitra PKN Rama Thahara mengatakan, pihaknya memilih seni kentrung sebagai objek sekaligus subjek yang akan digarap dan dikolaborasikan untuk mencipta bentuk baru.
Baca Juga: Tampil Epik, Teater Djarum Sukses Pentaskan Tragedi Mendut Prana
Mbah Djaswadi, kata Rama, merupakan salah satu sosok maestro yang kami anggap perlu kita serap ilmu dan praktiknya dalam berkesenian.
“Kita tahu Mbah Djaswadi ini juga seniman multitalenta dan multidisiplin yang sudah sangat jarang bagi seniman sekarang bisa melakukannya,” pungkasnya.
Editor: Haikal Rosyada