31 C
Kudus
Selasa, Mei 13, 2025

Kisah Joko Elysanto, Pejuang Kelestarian Aksara Jawa yang Hidup Menantang Kemapanan

Berani, mungkin menjadi pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan laku hidup Joko Elsyanto. Sejak kecil, pria yang lahir pada 1968 di Keprabon, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah itu memang terbilang berani melawan kemapanan.

Kisah-kisah keberaniannya itu bahkan sudah ia torehkan sejak usia Sekolah Dasar (SD), saat anak seusianya masih asyik bermain. Waktu itu, ia ingin mendapatkan pendidikan yang bisa menjadikannya punya kemampuan seperti ayahnya yang pintar menulis Arab, pidato Bahasa Arab, dan Bahasa Inggris.

Menyanggupi permintaan sang anak, ayahnya lalu menyekolahkannya ke Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Namun, baru berjalan empat tahun atau saat kelas VI SD, Joko memutuskan pulang kampung karena merasa sudah mendapatkan kemauannya.

-Advertisement-

“Mondok itu keinginan saya sendiri. Lalu saya dikirim ke Gontor saat masuk kelas satu SD. Kelas empat saya sudah juara nulis khat, pidato Bahasa Arab dan Inggris. Yang saya kejar sudah dapat, jadi ya pulang,” ungkapnya saat ditemui di Padepokan Pecuk Pecukilan, Kecamatan Bae, Kudus, Kamis (10/8/2023) malam.

Baca juga: Kisah Kesuksesan Mahrus Jadi Bos Jeroan: Dari Terlilit Utang, Diusir Warga, hingga Nyaris Dibunuh

Terlahir di keluarga Islam, anak ketiga dari tujuh bersaudara itu mengaku bahwa dirinya menjadi satu-satunya anak yang memiliki nama berbahasa Jawa. Namun, dia jadi satu-satunya anak yang mengenyam pendidikan pesantren, itu juga karena keinginannya.

Usai mondok dan melanjutkan pendidikan di kampung halaman, Joko kembali mengembara untuk menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo. Lagi-lagi, selama tiga tahun itu, ia mencicipi tiga sekolah berbeda, yaitu kelas X di SMA Al Islam, kelas XI pindah ke SMA Muhammadiyah 2, dan kembali pindah ke SMA Muhammadiyah 3 saat kelas XII.

Tak berhenti di sana, aksi nekat kembali ia lakukan saat jadi mahasiswa. Melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Semarang pada 1987, Joko menjelajahi semua fakultas yang ada di sana.

“Dulu kan baru ada empat fakultas. Tahun pertama saya di Tarbiyah, tahun kedua pindah Syariah, tahun ketiga pindah Ushuluddin, dan terakhir Fakultas Dakwah. Ya jelas tidak lulus, tapi tujuan saya kan cari banyak teman,” ucap pria berusia 55 tahun tersebut.

Baca juga: Pernah Hidup Susah Jadi Inspirasi Nawa Buka Warung yang Harganya Sangat Merakyat

Setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, pada 1995 Joko meninggalkan Semarang dan pindah ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, dia ikut temannya yang memiliki bisnis merakit komputer sambil membantu Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menjalankan usaha fotokopi dan minimarket.

Lima tahun di Yogyakarta, Joko mendapatkan tawaran menarik untuk mengelola Radio Primanusa milik temannya pada 2000. Merasa dapat tantangan baru, ia menerima pinangan tersebut dengan syarat, urusan program tidak boleh ada yang mengganggu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERPOPULER