BETANEWS.ID, SEMARANG – Ada suara mesin sepeda motor meraung-raung di sebuah arena. Ada suara sirene dan lonceng kocak mengundang daya tarik. Ada suara pekak menggelegar mirip klakson kapal. Ada pula terselip suara mainan meletup-letup di antara riuh rendah orang-orang yang berlalu-lalang dan tawa riang anak-anak, beradu suara-suara dari pelantang di beberapa tempat.
Itulah harmoni suara-suara yang berebut masuk di gendang telinga, selagi pertama masuk ke arena Dugderan di Kota Semarang. Ya, mungkin kesan suara lebih dominan hadir daripada pandangan mata yang lebih sempit memandang. Begitulah suasana di setiap arena dan festival kerakyatan, seperti Dugderan ini.
Sesak dan berjejalan, sudah lumrah terjadi di setiap gelaran Dugderan. Namun, hampir tak ada wajah-wajah yang tidak menunjukkan keceriaan. Bersama keluarga, anak, sanak saudara, maupun teman, para pengunjung Dugderan tampak antusias saling menerobos kerumunan di antara akses jalan berhimpitan. Mungkin inilah yang dinamakan kebahagiaan merakyat.
Baca juga: Cerita Pengrajin Mainan Kayu Asal Klaten yang Bisa Raup Omzet Puluhan Juta Selama Dandangan
Dugderan yang digelar di kawasan Pasar Johar berhimpitan dengan Aloon-Aloon Masjid Agung Semarang ini rutin digelar tiap tahun menjelang Ramadan. Meski sempat ditiadakan tiga tahun karena pandemi Covid-19, antusiasme Dugderan tidak luntur baik oleh pengunjung maupun pedagang dan penjual jasa hiburan.
Dugderan 2023 ini berlangsung mulai 10 sampai 22 Maret mendatang. Sejumlah 165 pedagang mengisi lapak-lapak di sisi utara dan selatan alun-alun yang menyambung hingga kawasan Masjid Agung. Lapak pedagang tersebut terdiri dari kuliner, pakaian, mainan, juga wahana permainan. Sementara jam buka Dugderan dimulai pukul 09.00 sampai 21.00 WIB.
Setelah lepas pandang mata dari padatnya parkiran kendaraan bermotor yang memanfaatkan pinggiran jalan, pemandangan yang tampak adalah deretan lapak-lapak pedagang yang dijejali pengunjung. Lapak-lapak saling berhimpit di antara wahana-wahana permainan yang beberapa di antaranya terlihat menjulang.
Tak banyak beda dengan pemandangan pasar malam atau event hiburan rakyat lainnya. Hanya yang pasti membedakan adalah maskot “Warak Ngendhog” yang mewarnai nuansa Dugderan. Di lapak mainan, replika Warak Ngendhog menjadi menu pasti setiap Dugderan. Mainan tradisional dengan harga terjangkau ini, kini banyak variannya. Jika dahulu mainan Warak Ngendhog hanya berupa boneka, sekarang bentuknya sudah beragam, seperti topeng warak, kepala warak yang dibuat seperti wayang golek, atau kepala warak berbuntut panjang sebagai hiasan yang bergelombang jika tertiup angin.
Warak Ngendhok sendiri adalah maskot khas Dugderan di Kota Lumpia ini. Warak bukanlah diambil dari bentukan hewan nyata. Namun sebagai simbol hewan fiksi, warak sudah mendarah daging sebagai ikon khas Semarangan. Bentuk warak yang khas adalah hewan berkaki empat dengan kepala bermoncong agak panjang, bertelinga runcing dan berekor panjang. Sedangkan imbuhan ngendhog diambil dari bahasa Jawa, yang berarti bertelur.
Selain ikonik warak, di lapak mainan juga sebagaimana lazimnya diisi dengan mainan berbahan gerabah, seperti mainan pasar-pasaran. Mengikuti selera modern, mainan yang dijual tidak selalu bernuansa tradisional, banyak juga dijual mainan modern dari plastik. Hal sama juga di lapak kuliner yang mulai jarang menjual jajanan tradisional, diganti dengan makanan ala Korea misalnya.
Baca juga: Jadi Pengobat Dahaga Rindu, Dandangan Tahun ini Lebih Meriah Dibanding Sebelumnya
Sama halnya mainan gerabah, mainan kapal othok-othok bertenaga panas api lilin juga khas di Dugderan maupun event tradisi lain. Beberapa lapak juga menawarkan permainan kecil, seperti permainan melempar bidikan. Sementara wahana permainan tentu saja tak luput dari sasaran pengunjung Dugderan. Ada komidi putar, kapal ayun, bianglala, rumah hantu, atau pertunjukan atraksi motor di dalam tong stand.
Alunan lagu-lagu yang dimainkan pemusik di panggung kecil sudut alun-alun, memberi hiburan selepas lelah berkeliling. Ada juga pertunjukan barongsai yang tentunya adalah bagian sejarah akulturasi kebudayaan di Semarang. Ini mengingat budaya Semarangan dan Tionghoa sudah menjadi satu ikatan tradisi.
Dugderan menjadi tradisi lawas di Semarang. Dalam sebuah catatan, Dugderan sudah diadakan sejak 1882 pada masa Kabupaten Semarang di bawah kepemimpinan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Dugderan sendiri populer dari kata dug dan der. Kedua kata tersebut adalah istilah dari bunyi-bunyian. Dug dari suara bedhug yang dipukul berirama, sementara der dari suara mercon atau petasan yang mengiringi perayaan.
Puncak Dugderan akan ditutup dengan tradisi arak-arakan budaya dengan menyertakan ikon Warak Ngendhog, pada 21 Maret mendatang. Arak-arakan akan dimulai pukul 10.00 WIB yang dimulai dari halaman Balaikota. Selanjutnya arak-arakan mengambil rute ke Masjid Agung Semarang diteruskan ke Masjid Agung Jawa Tengah. Dalam taglinenya, Dugderan 2023 ini menguatkan kemajuan budaya sebagai strategi pemulihan ekonomi.
Editor: Ahmad Muhlisin