BETANEWS.ID, SEMARANG – Kuburan massal aksi pembantaian 1965 di Dusun Plumbon, Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, mencuri perhatian dunia dengan dicatat sebagai situs memori yang memiliki edukasi Hak Asasi Manusia (HAM) oleh The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH), yang berada di bawah naungan badan PBB, UNESCO.
Kuburan massal bagi korban G30S PKI itu menjadi situs sejarah korban perang bersama dua lokasi pemakaman massal lainnya seperti di Spanyol, Priaranza del Bierzo dan Argentina, Space of Memory and the Promotion and Defense of Human Rights (FORMER ESMA).
Namun, kuburan yang berlokasi di kawasan perhutani itu, kini kondisinya terbengkalai.
Baca juga: Inilah Sejarah Watu Tugu yang Digadang Akan Jadi Destinasi Wisata Baru di Semarang
Pantauan Betanews.id saat di lapangan, untuk menuju ke lokasi, tim harus melewati lahan pertanian dan melewati hutan. Medan jalanya pun cukup sulit, karena sedikit menanjak.
Saat tiba di lokasi, tempatnya berada di tengah hutan, sehingga sekelilingnya banyak tumbuhan liar dan daun kering berserakan hingga menutupi paving yang menjadi pembatas. Tak hanya itu, sisi kanan bangunan monumen pun sudah tidak utuh, nama-nama jasad yang dimakam pun hampir hilang, sehingga sudah tidak bisa dibaca.
Salah satu warga Dusun Plumbon, Ahmad Khamin (83) menerangkan, kuburan masal ini memang sudah tidak ada yang merawat.
“Saya dulu pernah menjadi yang bersih-bersih di sini, tapi karena sekarang sudah tidak dibayar ya saya lepas. Tapi setelah tidak ada yang resmi untuk bersih-bersih, dulu warga dan yang suka cari nomer sempat sering merawat makam ini,” akunya.
“Ada lingkaran batu di sisi kanan kiri monumen ini kan yang buat juga orang-orang, yang suka cari nomer. Soalnya dulu orang-orang banyak yang cari nomer di kawasan ini, tapi karena sekarang udah sepi, ya makamnya tidak terawat,” tambahnya.
Terpisah, Aktivis Kemanusiaan dan Pegiat HAM dari Perkumpulan Masyarakat Semarang Yunantyo Adi menjelaskan, awal ia mengetahui lokasi makam awalnya dari mahasiswa Unika pada Juni 2014 lalu.
“Ditemukan mahasiswa Unika tahun 2014. Akhirnya saya tergerak untuk merawat kuburan massal itu mulai September 2014,” katanya.
Kemudian setelah merawat, tak lama Yunanto pun melakukan lobi ke berbagai pihak untuk meresmikan kuburan masal. Lalu setelah delapan bulan lebih melakukan lobi, ia pun berhasil.
Pihaknya pun menyebut, saat kuburan masal diresmikan, menarik semua pihak, termasuk organisasi dibawah naungan UNESCO bernama CIPDH, yang menobatkan makam itu sebagai situs sejarah korban perang.
“Diresmikan ramai-ramai 1 Juni 2015, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila melibatkan pemerintah, TNI-Polri, ormas, keluarga korban dan lainnya,” katanya.
“Saat peresmian warga juga sangat membantu, bahkan seminggu sebelum peresmian, para warga gotong royong membersihkan jalan hingga mendirikan tratak,” tutupnya.
Baca juga: Ereveld Kalibanteng, Tempat Pemakaman Ribuan Tentara KNIL dan Pribumi Korban Perang
UNESCO menilai pemakaman itu sebagai situs pelanggaran berat HAM masa lalu yang memperoleh perlakuan orang zaman sekarang dengan berbeda yang dianggap memiliki nilai edukasi.
“Plumbon dijadikan memori situs CIPDH UNESCO. Kami dihubungi lewat email 1 Mei 2019, dinyatakan resmi awal Januari 2020,” katanya.
“Di makam massal itu ada 24 jasad, tapi yang tertulis di monumen ada 8 nama, satu di antaranya jasad perempuan bernama Moetiah yang merupakan bangsawan Syar’i yang aktif di Gerwani dan aktif mengajar di Taman Kanak-kanak Melati,” tutupnya.
Editor: Kholistiono