Suara deburan ombak terdengar dari sekolah dasar (SD) 1 Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Tak jauh dari SD yang sebagian bangunan sudah terendam air itu, tampak sejumlah perahu berjajar. Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit dengan jarak kurang lebih 1 kilometer menggunakan ojek perahu tersebut, terlihat sebuah rumah yang dikelilingi pohon bakau atau mangrove.

Rumah Mak Pasijah di Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, yang tenggelam di tengah laut. Foto Drone: Kaerul Umam

Di rumah yang telah tenggelam di tengah laut itu, tampak seorang perempuan paruh baya sedang berdiri di depan rumah. Ia adalah Pasijah, yang bertahan hidup di tengah laut bersama suami dan dua anaknya. Kepada Tim Liputan Khusus Betanews.id, Mak Jah, begitu dia akrab disapa, sudi berbagi kisah hidupnya tinggal di tengah laut tanpa satu orang pun tetangga.

Mak Jah mengatakan, rumahnya itu berada di Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Dia telah tinggal di rumahnya itu sejak 32 tahun yang lalu, ketika menikah dengan Rumani, suaminya.

“Saya di sini sudah 32 tahun sejak saya menikah. Dulu sebelum tenggelam, tanah-tanah di sini adalah sawah yang ditanami padi. Aslinya wagra di sini itu petani, termasuk saya,” ungkap ibu empat anak itu saat ditemui di rumahnya beberapa waktu yang lalu.

Sudah saya niatkan di sini menunggu desa tenggelam. Kalau saya pergi, desa ini tidak ada lagi penghuninya

Pasijah, Penghuni desa tenggelam

Sejak tahun 2000, Dukuh Senik terkena abrasi air laut. Sehingga pahan pertanian milik warga dirubah menjadi tambak. Semakin lama, air laut semakin masuk ke permukiman dan menenggelamkan rumah-rumah warga. Sejak 2005, warga Senik memilih untuk pindah ke lokasi lain, dan tahun 2010 hanya menyisakan keluarga Mak Jah.

- advertisement -

“Sudah saya niatkan di sini menunggu desa tenggelam. Kalau saya pergi, desa ini tidak ada lagi penghuninya” katanya.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mak Jah mengaku harus naik perahu menuju ke daratan. Untuk berbelanja ke pasar, mengambil air bersih untuk minum, dan mengantar anaknya ke sekolah, Mak Jah harus menyeberangi lautan.

“Susahnya itu kalau ada rob. Kami terpaksa tidur di perahu, atau kalau tidak tidur di rumah tingkat milik tetangga yang sudah ditinggal,” tutur Mak Jah sampil menunjuk rumah tetangganya yang sudah ditinggal pergi.

Ikhwanudin, anak pertama Pasijah mengaku masih bisa mengingat ramainya Dukuh Senik. Setiap sore dia masih bisa bermain sepak bola bersama teman-temannya. Tak jarang pula dia bermain sepeda dan mengambil buah kelapa di depan rumahnya.

“Ibu dan bapak dulu seorang petani. Saya masih ingat ibu bertani ke sawah dulu,” katanya.

Dulunya Dukuh Senik merupakan daerah yang subur, mayoritas warga di dukuh tersebut merupakan petani. Hal itu wajar, karena sebelum Dukuh Senik rata menjadi laut di Dukuh Senik banyak lahan persawahannya.

“Dulunya yang di sebelah sini itu persawahan dan di dekat rumah Mak Jah itu banyak pohon kelapa dan palawijanya,” imbuhnya.

Namun, sejak tahun 2000 keindahan Dukuh senik perlahan hilang. Air laut menenggelamkan seluruh kehidupan di Dusun Senik. Perlahan Dusun Senik menjadi daerah mati karena ditinggalkan penghuni.

“Hingga tahun 2010 yang bertahan hanya Mak Jah dan keluarga,” imbuhnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini