BETANEWS.ID, KUDUS – Siti Rukhayah (30) dan sang suami, Arif Rahman (36) terlihat sibuk melayani pembeli, Rabu (22/7/2020) petang. Menggunakan gerobak kayu berdinding kaca, mereka menjajakan Kue Serabi Solo di Jalan KH Moh Arwani, Desa Krandon, Kecamatan Kota Kudus.
Lapak bernama Serabi Inggris Solo itu sebenarnya outlet kedua Siti dan suami. Outlet sebelumnya ada di Matahari Kudus. Sejak terbakarnya tempat tersebut Februari 2018 lalu, saat ini dirinya membuka lapak di dekat komplek Menara Kudus dan di rumahnya.
“Cuma di sini dan membuka orderan atau pesanan di rumah. Padahal awalnya memang di Matahari sejak tahun 2012. Jadi merek Serabi Inggris Solo ini ada dan punya pelanggan dari harganya Rp 500 per buah sampai sekarang Rp 1.500 per buah,” ungkap Siti sembari menggulung serabi dengan daun pisang.
Baca juga: Kue Terang Bulan, Jajanan Jadul Favorit Segala Usia
Resep serabi kering Solo Notosuman itu Siti dapat dari mantan bosnya. Dulu sebelum membuka lapak sendiri, Siti sempat bekerja menjajakan jajanan tersebut dengan bosnya yang asli Purwodadi. Hingga akhirnya, ia direstui untuk membuka lapak dengan nama dan resep yang sama.
“Kalau nama tidak ada arti khusus. Supaya kelihatan unik saja. Dan nama ini berasal dari produk saudara atau bos saya sebelumnya. Orang Purwodadi. Saya direstui untuk buka sendiri,” kata dia.
Ciri khas dari jajanan Serabi Inggris Solo miliknya dikatakan Siti salah satunya dari penyajian. Yakni tanpa digulung. Akan tetapi, sejak banyaknya pesanan dan mulai rame di GrabFood, maka penyajian mulai digulung. Namun, rasa dan varian tidak berubah.
“Merek Serabi Inggris Solo ini satu-satunya di Kudus. Ciri khasnya dulu disajikan tanpa digulung. Sekarang mulai digulung supaya lebih praktis. Tetapi rasa gurih manis dengan varian coklat, kelapa, pisang, dan nangka masih sama,” papar dia.
Baca juga: Martabak Menara, Si Manis yang Legendaris di Kudus
Meskipun begitu, Siti mengatakan, sejak lapak di Matahari ditambah masa pandemi, ia merasakan dampak yang besar. Yakni hilangnya sebagian besar pelanggan yang mempengaruhi pemasukan. Bahkan, mereka sempat tidak berjualan pada masa awal pandemi.
“Sejak kebakaran, awalnya punya banyak pelanggan di sana. Sekarang mulai sepi. Terus ditambah kondisi pandemi. Awal adanya Covid, kami sempat tutup 2,5 bulan. Dan sekarang untuk menghabiskan 2 kilogram adonan saja cukup susah,” pungkas dia.
Editor: Ahmad Muhlisin