BETANEWS.ID, KUDUS – Dua perempuan mengenakan celemek tampak sibuk di satu ruangan rumah yang berada di RT 4 RW 1 Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Mereka terlihat memasukan serbuk berwarna hitam kecokelatan ke dalam sebuah kemasan. Di samping mereka, tampak seorang perempuan memperhatikan dan sesekali memberi intruksi. Perempuan tersebut yakni Hikmawati Inaya (39), pemilik usaha Kopi Muria Wilhelmina.
Hikmawati Inaya menuturkan, merintis usahanya tersebut pada tahun 2012. Dia mengaku tercetus usaha Kopi Muria Wilhelmina karena rasa keprihatinannya atas nasib hasil panen kopi di lereng Gunung Muria. Saat itu tuturnya, hasil panen kopi berlimpah, tapi sayang tak pernah ada nama kopi Muria dalam merek kopi yang beredar.
“Pada saat itu saya begitu miris. Setiap masa panen kopi, banyak tengkulak dari lain daerah berdatangan. Mereka membawa kopi Muria ke daerahnya dan kemudian diolah diberi merek dengan nama daerah para tengkulak. Kalau begitu terus, maka nama kopi Muria akan menguap dan hilang begitu saja,” ujar perempuan yang akrab disapa Hikma kepada betanews.id.
Baca juga : Kisah Jitun Olah Minuman Sari Rempah, Awalnya Tak Laku Sampai Berhenti Produksi
Atas dasar itu lanjutnya, dia bertekad mengolah sendiri hasil panen kopi dari ladangnya dan diberi merek Kopi Muria Wilhemina. Dipilihnya nama Wilhelmina, karena kopi yang ada di Gunung Muria saat ini adalah hasil tanam paksa yang digalakkan Belanda pada masa penjajahan.
“Karena pada masa itu, Belanda dipimpin Ratu Wilhelmina, jadi namanya saya cantumkan di merek kopi saya. Biar kita selalu ingat sejarah,” celetuknya.
Perempuan yang sudah dikaruniai satu anak itu mengatakan, saat awal produksi dirinya mempromosikan Kopi Muria Wilhelmina secara online. Dia mengaku respon terhadap kopi produksinya lumayan bagus. Beberapa teman dan kolega banyak yang memesan kopi miliknya.
Selain dipasarkan lewat media sosial, dia mengaku juga beberapa kali ikut pameran. Saat pertama ikut pameran itulah dirinya dapat pengalaman yang agak kurang enak sekaligus berharga. Karena kopi hasil produksinya yang dikemas dalam plastik transparan malah dikira kaus kaki.
“Saat itu kemasan Kopi Muria Wilhelmina masih berupa plastik transparan dan ditempel stiker untuk merek. Lha pas tergeletak di atas meja pameran itulah, pengunjung mengira, kopi saya itu kaus kaki,” jelasnya.
Baca juga : Asyiknya Belajar Olahan Kelor di Lokasi Wisata Edukasi Komunitas Pangan Sehat
Karena kejadian tersebut, sambil membetulkan jilbabnya Hikma menuturkan, selalu mencari refrensi pengemasan yang bagus agar produknya makin diminati. Karena dirinya sangat sadar kemasan sangat punya pengaruh besar terhadap citra produk.
“Percuma dong produk bagus kalau kemasannya seadanya. Takutnya nanti dikira produk kita tidak berkualitas,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, saat ini Kopi Muria Wilhelmina dikemas dengan berbagai ukuran. Ada kemasan pouch, kemasan kardus, serta kemasan gelas. Dia bersyukur saat ini produk Kopi Muria Wilhelmina sudah banyak peminatnya.
“Saat ini, setiap bulannya saya bisa memproduksi sekitar 900 kwintal kopi Muria. Dan menjual lebih dari seribu pak Kopi Muria Wilhelmina,” ungkap Hikma.
Editor : Kholistiono