BETANEWS.ID, KUDUS – Upah minimum kabupaten (UMK) Kudus tahun 2025 disepakati naik 6,5 persen dalam rapat Tripartite terkait pembahasan UMK Kudus, Senin (9/12/2024). Dalam rapat tersebut digelar di Kantor Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, Koperasi (Disnakerperinkop) dan UKM Kabupaten Kudus.
Semua Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab) Kudus, meliputi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Disnakerperinkop dan UKM, badan pusat statistik (BPS), dan akademisi turut hadir dalam rapat tersebut.
Baca Juga: DPD Nasdem Kudus Bentengi Kader dari Paham Radikalisme
Kepala Disnakerperinkop dan UKM Kudus, Rini Kartika Hadi Ahmawati menyampaikan, kesepakatan kenaikan upah tahun 2025, sudah mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 16 tahun 2024. Menurutnya, kenaikan UMK sebesar 6,5 persen sudah disepakati semua pihak dalam forum rapat.
“Untuk kenaikan UMK sudah disepakati, hanya saja pihak Apindo masih keberatan terkait usulan kenaikan upah minimum sektoral,” ujar Rini saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (9/12/2024).
Dia menjelaskan, UMK Kudus tahun depan disepati dengan besaran di angka Rp2.680.485. Angka UMK tersebut naik 6,5 persen atau sekitar Rp163.597 dari tahun 2024 yang besarannya Rp2.516.888.Â
Besaran UMK tahun depan tersebut, kata Ribu ditujukan untuk pekerja yang masa kerjanya di bawah satu tahun. Sedangkan pekerja yang sudah melebih satu tahun masa kerja, disesuaikan dengan skala upah dan kebutuhan perusahaan.
Sedangkan terkait upah minimum sektoral yang diusulkan di atas 6,5 persen, masih dilakukan pembahasan lanjutan. Rini menuturkan, bahwa usulan itu memang harus mempunyai kajian dan indikator yang jelas.
“Memang dalam Permenaker bisa mengusulkan upah sektoral, tetapi harus ada kriterianya. Sedangkan di Jawa Tengah belum ada kabupaten/kota yang menerapkan,” ujarnya.
Baca Juga: Hartopo Buka Suara Terkait Polemik Utang Owner PO Haryanto
Upah minimum sektoral tersebut, lanjutnya, diusulkan pada sektor industri rokok dan elektronik. Hanya saja, terkait kesepakatannya masih dalam pembahasan karena mempertimbangkan banyak pihak.
“Belum disepakati, karena kalau di atas 6,5 persen dengan perlakuan sama seperti UMK akan memberatkan perusahaan,” imbuhnya.
Editor: Haikal Rosyada