BETANEWS.ID, KUDUS – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia, termasuk di Kabupaten Kudus telah usai. Namun, gelaran Pilkada dianggap marak dengan politik uang, sehingga mengakibatkan mahalnya ongkos politik.
Karena hal tersebut, beberapa pihak berwacana agar kepala daerah kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bahkan wacana tersebut juga diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto ketika menghadiri ulang tahun Partai Golkar ke 60.
Menyikapi hal tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (UMK) Hidayatullah, mengaku tidak sepakat. Menurutnya, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD hanya memindahkan persoalan saja.
Baca juga: Hasil Pilkada Kudus: Samāani-Bellinda Raih 53,5 Persen Suara
āYa, itu hanya memindahkan permasalahan saja, dari politik uang ke masyarakat kepada politik uang ke legislatif,ā ujarnya kepada Betanews.id di UMK, belum lama ini.
Hidayatullah menjelaskan bahwa sistem demokrasi Indonesia saat ini adalah Presidensial. Yang mana, pemilihan presiden serta kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Sementara pemilihan presiden dan kepala daerah yang dipilih oleh legislatif merupakan sistem demokrasi Parlementer. Menurutnya, sistem ini pernah dilaksanakan sepanjang masa Orde Baru. Pada saat itu, juga diwarnai dengan politik uang.
āNilai politik uang dulu ketika demokrasi perwakilan dengan saat ini juga sama besarnya. Oleh karena itu, sepanjang demokrasi di Indonesia belum terbangun secara baik atau secara sehat, maka ide mengembalikan Pilkada ke DPRD bukanlah solusi yang ideal,ā bebernya.
Disinggung bahwa politik uang kepada masyarakat sebagai kompensasi kehadiran ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), Hidayatullah juga tak sepakat. Menurutnya, hal itu hanya sebagai alasan. Esensinya atau hakikatnya itu tetap politik uang.
āJadi jangan dikaburkan, harus ada pembedaan antara politik uang dan biaya politik,ā jelasnya.
Baca juga: Gagal di Pilkada Kudus 2024, Hartopo Mengaku Tak Kapok Berpolitik
Namun sayangnya dalam Undang-Undang (UU) sendiri mengaburkan antara politik uang dengan biaya politik. Sehingga, hal itu menjadi faktor penegakan pemilu menjadi tidak tegas.
āKarena memang kabur di aturannya. Jadi ini kemudian berkelindan, antara aturan hukum yang tidak tegas dan masyarakat yang masih membutuhkan politik uang,ā ungkapnya.
Dia mengatakan, selagi masih marak adanya politik uang maka sulit untuk menghasilkan pemimpin yang ideal. Sebab diakui atau tidak, politik uang itu berpengaruh terhadap pilihan masyarakat.
āMasyarakat akan cenderung memilih calon yang berani memberikan politik uang yang lebih besar. Akhirnya dengan Politik uang akan melahirkan pemimpin yang tidak ideal,ā tandasnya.
Editor: Ahmad Muhlisin