BETANEWS.ID, PATI – Salah satu yang khas dari perayaan tradisi Meron di Sukolilo, Pati, adalah keberadaan gunungan yang terbuat dari once atau rengginang kecil. Ada pula yang menyebut dengan ampyang. Ada pula, bagian dari gunungan tersebut adalah mustaka. Yakni, bunga-bunga yang berada di atas, yang juga terdapat miniatur berbentuk hewan berupa ayam.
Sekretaris Panitia Kegiatan Meron, Triyono, menjelaskan, jumlah gunungan menyesuaikan dengan jumlah kepala desa dan perangkat yang ada di Desa Sukolilo. Untuk saat ini, jumlahnya ada 13.
Baca juga: Kalau di Solo Ada Sekaten, di Sukolilo Pati Ada Tradisi Meron Setiap Bulan Maulid
Menurutnya, untuk bagian tengah yang berupa once, semua gunungan sama. Namun, dari belasan gunungan tersebut, ada yang membedakan dari siapa gunungan tersebut berasal.
“Untuk kepala desa, untuk mahkotanya itu, kan, ada bunga dan ayamnya. Nah untuk ayamnya ini berwarna putih. Sedangkan dari modin, mahkotanya itu berupa ka’bah,” bebernya, Selasa (17/9/2024).
Kemudian untuk gunungan yang berasal dari perangkat desa, cirinya adalah mahkota dari gunungan tersebut, untuk miniatur ayamnya berwarna hitam.
Triyono menjelaskan, sejarah Meron tak lepas dari tradisi yang ada di Kerajaan Mataram, yakni Sekaten. Awalnya itu saat prajurit Mataram menyerang Kadipaten Pati.
“Nah ketika itu, prajurit Mataram tersebut singgah di Sukolilo. Dan kebetulan waktu itu, pas perayaan Maulid Nabi. Maka mereka juga merayakan seperti tradisi yang ada di Mataram. Tapi kalau di sana namanya Sekaten, di sini dinamai Meron,” ujarnya.
Baca juga: Melihat Kemeriahan Puncak Festival Muria Raya di Jepalo Pati
Ia menjelaskan, nama Meron merupakan singkatan yang dalam bahasa Jawa yaitu “mempere keraton” atau seperti keraton. Yakni, hampir sama seperti apa yang dilaksanakan di keraton atau Kerajaan Mataram.
Dirinya menyebut, Tradisi Meron sudah diperingati sejak ratusan tahun lalu, yakni sejak 1628 Masehi. Tradisi tersebut, terus dilaksanakan hingga kini oleh masyarakat Sukolilo.
“Tradisi Meron ini juga sudah tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh Kemendikbudristek. Bukan hanya itu saja, Meron juga diakui sebagai kekayaan intelektual komunal yang tercatat di Kemenkumham,” ungkap Triyono.
Editor: Ahmad Muhlisin