SEPUTARKUDUS.COM, KUTUK – Di rumah kecil terbuat kayu dan bambu, seorang wanita berkaus warna orange terlihat duduk termangu. Di sampingnya, suaminya terbaring di atas bangku, dan anaknya duduk di atas kursi roda. Perempuan itu bernama Sukijah (55). Warga Desa Kutuk, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, itu seorang buruh tani. Dia harus menghidupi suami dan anaknya yang tak berdaya karena penyakit menahun.
Sukijah bersama suami dan anaknya yang lumpuh bertahun-tahun. Foto: Sutopo Ahmad |
Kepada Seputarkudus.com, Kijah, begitu dia akrab disapa, sudi berbagi kisah hidupnya. Dia memberitahukan, suaminya bernama Sumari (62), sudah sekitar 30 tahun terakhir mengalami kelumpuhan. Sedangkan anaknya, Sulikin (20), sejak berusia lima tahun sudah mengalami penyakit osteoporosis pada kedua kakinya.
“Setiap hari saya bekerja sebagai buruh tani. Kadang di suruh orang bercocok tanam, kadang ngasak padi saat panen. Di rumah saya beternak ayam. Saya tidak punya sawah, namun harus tetap bekerja sebisanya. Suami dan anakku butuh makan, butuh berobat,” ungkap Kijah waktu ditemui di rumahnya Desa Kutuk RT 4 RW 4.
Wanita yang mengaku dikaruniai lima orang anak yang empat di antaranya telah meninggal ini mengatakan, dulu suami dan anaknya hidup normal seperti orang pada umumnya. Tapi suaminya mengalami kelumpuhan karena tak kuat melihat keempat anaknya yang setiap kali lahir meninggal di usia dini.
“Suami saya tidak kuat kondisi anak-anak kami. Empat anak kami meninggal saat berusia masih terhitung bulan. Akhirnya, suami saya mengalami kelumpuhan,” terangnya.
Air mata Kijah tak henti menetes saat menceritakan kisah hidupnya. Sambil sesekali mengusap air mata, dia melanjutkan ceritanya. Dia mengatakan, satu-satunya anak yang masih tersisa hidup normal. Dia sempat berharap kelak bisa menjadi tumpuhan keluarganya. Namun, pada usia 5 tahun, Sulikin justru mengalami kelumpuhan, seperti ayahnya.
Saat itu, kata Kijah, Sulikin sedang bermain hujan-hujanan bersama temannya tak jauh dari Wihara. Sulikin saat itu hendak menangkap ayam, tapi belum tertangkap, dia terjatuh dan mengalami patah kaki.
“Anakku tulangnya rapuh, sedikit-sedikit patah tulang, sudah 37 kali dia patah tulang. Suami lumpuh, ongkos buat berobat juga tidak ada, jadi aku obati sendiri pakai gips. Kadang aku khawatir, misal aku meninggal terus yang merawat mereka siapa, kami tidak punya saudara,” ungkap Kijah dengan air mata yang terus berlinang.
Bekerja sebagai buruh tani, Kijah hanya mendapatkan upah Rp 50 ribu sehari. Uang itu hanya cukup untuk makan dia bersama keluarga. Tak jarang, tetangga sekitar memberi beras karena iba dengan kondisi keluarganya.
“Kami pernah mendapat bantuan kursi roda dari Puskesmas Undaan. Tapi saat ini kursi rodanya sudah rusak. Kami juga pernah mendapat sumbangan dari TKW (tenaga kerja wanita) di Taiwan asal Kendal, sebanyak Rp 15 Juta. Tapi uangnya dihutang orang, sampai sekarang belum dikembalikan dan tidak tahu orang itu pergi kemana,” tambahnya.
Kijah berharap, ada dermawan yang sudi memberikan sumbangan untuk pengobatan suami dan anaknya. Sebagai buruh tani yang penghasilannya tak menentu, dirinya merasa kesulitan untuk membiayai suami dan anaknya.