SEPUTARKUDUS.COM, PEGANJARAN – Dari Jalan Sukun Raya terlihat empat menara menjulang, mengapit sebuah kubah masjid berbentuk lingkaran. Bangunan masjid memiliki warna dominan hijau. Masjid Baitussalam, masjid di Dukuh Jatisari Tempel, Desa Peganjaran, Kecamatan Bae Kabupaten Kudus itu. Di ruang utama terdapat tujuh tiang menjulang hingga lantai dua. Di bagian atas pengimaman terdapat kaligrafi berwarna coklat tua. Dari desain hingga hiasan kaligrafi, semuanya dikerjakan warga setempat.
Menurut Azid Faruq (26), marbot Masjid Baitussalam, dari desain, ukiran dan kaligrafi dibuat sendiri oleh warga Dukuh Jatisari Tempel, Desa Peganjaran. “Pembangunan Masjid Baitussalam murni dibangun secara swadaya oleh masyarakat Jatisari Tempel. Dari biaya pembangunan, desain, ukiran dan kaligrfi, masyarakat yang mengerjakan,” tuturnya.
Masjid yang direnovasi tahun 2009, katanya, dirancang oleh Solikul Hadi yang letak rumahnya dekat dengan masjid. Untuk ukiran yang terdapat di ruang pengimaman dikerjakan oleh Kholiq. “Kalau kaligrafinya dibuat oleh Syakal Indah yang juga warga Pegajaran,” ungkapnya.
Menurutnya, masjid yang menghabiskan biaya sekitar Rp 2 miliar tersebut mengadopsi desain ala Timur Tengah. Dari jendela, bentuk bangunan luar, kubah dan empat menara di sampingnya khas dengan gaya masjid Timur Tengah. “Yang sedikit ada khas bangunan Jawa hanya terletak di ukirannya saka pengimaman saja,” tambahnya.
Faruq menuturkan, dia kurang mengetahui jenis ukiran yang terdapat di tiang ruang pengimaman. Menurutnya kemungkinan ukiran itu khas Kudus. “Saya kurang tahu jenis ukirannya apa. Namun tiang tersebut asli Masjid Baitussalam pertama kali berdiri,” jelasnya.
Nadzir Masjid Baitussalam Mustofa Kamal menuturkan, Masjid ini dulu merupakan musala pribadi Mbah Bolawi yang didirikan tahun 1901 Masehi. Saat itu masyarakat di sekitar masjid masih sedikit, sekitar 50 kepala keluarga. Masyarakat sering ikut berjamaah di musala tersebut.
Seiring berjalannya waktu, katanya, musala tersebut berubah menjadi masjid yang digunakan salat Jumat warga Desa Peganjaran. “Tanah tersebut sudah diwakafkan. Setelah Mbah Bolawi meninggal dikelola H Ridwan, lalu ayah saya H Sofyan Noor dan sekarang saya dipilih untuk melanjutkan,” terangnya.
Menurutnya, selain digunakan ibadah salat, masjid tersebut juga digunakan untuk mengaji kitab kuning.