31 C
Kudus
Kamis, September 25, 2025

Mengenal Tradisi Guyang Cekathak Peninggalan Sunan Muria yang Tetap Lestari

BETANEWS.ID, KUDUS – Sejumlah rombongan kirab Tradisi Guyang Cekathak beriringan menuju Sendang Rejoso, Desa Colo, Kecamatan Dawe. Satu di antara mereka membawa pelana kuda (cekathak) milik Sunan Muria untuk dimandikan di sumber mata air tersebut. 

Tradisi turun temurun yang sudah berlangsung selama ratusan tahun itu kini masih dilestarikan, sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada Sunan Muria, Raden Umar Said. Dalam tradisi tersebut, warga juga berdoa bersama meminta hujan dengan simbol mengguyur cendol ke atas setinggi-tingginya.

Baca Juga: Makna Tradisi Golok-golok Mentok, Simbol Penolakan Terhadap Penindasan Perempuan

-Advertisement-

Ketua Dewan Pembina Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria, Mastur menyampaikan, tradisi budaya Guyang Cekathak dilakukan setiap musim kemarau atau sebagai patokannya di hari Jumat Wage di bulan September. Di mana acuannya musim kemarau (mongso ketigo) dari 24-25 Agustus atau 17-19 September.

“Alhamdulillah acara tradisi berjalan lancar. Saya kira (tahun ini) peserta bertambah, meskipun ada kendala cuaca (mendung). Tapi tidak menyurutkan niat masyarakat untuk mengikuti tradisi ini,” bebernya, Jumat (19/9/2025).

Tak hanya masyarakat, kata dia, peserta tradisi juga berasal dari kalangan mahasiswa dan warga luar daerah yang antusias mengikuti kegiatan itu. Sebab, sebagian besar masyarakat sadar bahwa sumber rezeki dan keberkahan hidup di sana atas keberkahan 

Ia menyebut, guyang cekathak berarti memandikan pelana kuda milik Sunan Muria. Menurutnya, pada saat itu, Sunan Muria memandikan kudanya di Sedang Rejoso atau tempat wudhu beliau, satu-satunya sumber mata air yang ada di sana. 

“Ini suatu pesan atas perjuangan beliau kala itu yang luar biasa. Karena kudanya sudah tidak ada, hanya ada pelana peninggalan dan untuk mengingat aktivitas beliau kalau itu kita abdikan dengan tradisi guyang cekathak yang kita lestarikan hingga sekarang,” ungkapnya. 

Mastur menuturkan, tujuan adanya tradisi itu sebagai upaya penghormatan dan mengenang perjuangan beliau, serta memperkenalkan kepada generasi muda. Agar tradisi itu masih lestari dan tidak lekang oleh waktu. 

“Konon beliau saat masih ada (hidup), kalau memandikan kudanya di sini. Ini adalah satu-satunya mata air yang ada di sini dan merupakan tempat wudhu-nya Sunan Muria. Setiap kali memandikan kuda di sini, kita sebagai generasi penerus untuk memberi penghormatan, kedua untuk memberikan informasi kepada anak muda untuk melestarikan tradisi budaya Desa Colo,” tambahnya.

Selain memandikan pelana kuda, tradisi itu juga ada prosesi melempar cendol sebagai simbol doa untuk meminta hujan di bulan kemarau seperti sekarang. Dengan melempar cendol ke atas diumpamakan seperti hujan, dimana air akan turun dari langit.

“Hujan dawet itu merupakan simbol. Ditawur atau dilempar keatas sebagai doa minta hujan. Biasanya dengan shalat istisqa tapi ini tidak dengan sholat. Namun dengan ramah tamah, berdoa bersama, bersedekah, ini juga perbuatan yang dianjurkan oleh agama,” imbuhnya.

Baca Juga: Kirab Golok-golok Mentok di Demaan Kudus, Ribuan Keranjang Dibagikan ke Peserta

Salah satu warga, Anggun mengaku senang bisa mengikuti acara tradisi rutin yang digelar setiap tahunnya. Menurutnya, ia sudah 10 kali mengikuti acara tersebut. 

“Ini sebagai bentuk penghormatan kami sebagai warga Colo untuk mengingat perjuangan Sunan Muria. Selain itu, agar tradisi ini juga bisa lestari sampai anak cucu atau sampai kapanpun,” ujarnya.

Editor: Haikal Rosyada

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERPOPULER