BETANEWS.ID, KUDUS – Di tepi perempatan jalan Jetak Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, seorang pria berbaju hijau tampak cekatan melayani pelanggan, sore itu. Ia adalah Wakino (47), penjual kue putu bumbung, jajanan tradisional yang masih bertahan hingga kini.
Di sela-sela menunggu pembeli, pria asal Wonogiri itu bersedia mengisahkan perjalanan panjangnya berjualan kue tradisional itu. Sebelumnya, ia merantau ke berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk Solo dan Jepara, untuk berjualan bakso keliling bersama kakaknya.

Setelah 10 tahun, ia akhirnya memutuskan mencoba keberuntungan di Kudus. Kini Wakino bersama keluarganya sudah sekitar 20 tahun menetap di Kudus.
Baca juga: Kena PHK, Saidatun Malah Sukses Bisnis Entho-Entho Khas Kudus
āAwalnya mengikuti kakak, di Wonogiri jualan bakso selama lima tahun, lalu ke Jepara juga jualan bakso selama lima tahun. Setelah berkeluarga, saya pindah ke Kudus,ā kenangnya.
Kue putu bumbung Wakino dibuat secara tradisional menggunakan bahan-bahan berkualitas seperti beras, gula aren asli, kelapa, dan sedikit garam. Dalam sehari, ia bisa memproduksi sekitar 3 hingga 4,5 kilogram adonan.
Proses pembuatan kue ini cukup sederhana. Beras dicuci dan direndam semalaman, lalu dihaluskan dan dikukus hingga matang sebelum disaring. Gula aren dipotong kecil-kecil dan dimasukkan di tengah adonan beras sebelum dikukus dalam cetakan bambu.
āKami selalu menjaga kualitas, menggunakan gula aren asli tanpa campuran. Meski begitu, harganya tetap terjangkau, hanya Rp1.000 per potong atau Rp10.000 per porsi,ā jelas Wakino.
Baca juga: Dari Jual Pukis Remaja di Kudus Ini Raup Ratusan Ribu Sehari
Wakino membuka lapaknya setiap hari mulai pukul 16.00 hingga 21.30 WIB. Meski sederhana, usahanya mampu menghasilkan omzet sekitar Rp200.000 hingga Rp300.000 per hari, terutama pada akhir pekan, saat pembeli meningkat.
āDari Kamis sampai Minggu, biasanya pembeli lebih ramai. Lokasi di sini cukup strategis untuk usaha,ā bebernya.
Wakino berharap cita rasa khas kue putu bumbungnya terus diminati masyarakat dan dapat bertahan hingga generasi mendatang.
āSemoga kue tradisional ini tetap ada dan bisa dinikmati semua orang, termasuk anak-anak muda,ā tambahnya.
Penulis: Fiska Aditia, Mahasiswa Magang PBSI UMK
Editor: Ahmad Rosyidi