BETANEWS.ID, SEMARANG – Adhitia Armitrianto, penulis Semarang sekaligus pemilik penerbit Buku Halah mengawali diskusi dengan berkisah bagaimana ia terinspirasi membuat tiga naskah drama yang ia cetak dalam satu buku.
Diskusi tersebut adalah salah satu sesi dalam peluncuran buku berjudul “Kup” di Cahaya Ilmu Book Store, di kawasan toko buku kaki lima, belakang Stadion Diponegoro, Kota Semarang. Toko buku itu milik Munif, seorang pencinta sastra sekaligus pemuda aktivis HAM Semarang.
Di Rilis dan Bedah Buku “Kup” (27/3/2023), Adhitia mengupas naskah-naskah dramanya, yaitu Bukan Rara Mendut, Miyang, dan Kup. Judul terakhir, Kup, menjadi favorit bahan diskusi para peserta yang hadir. Maklum saja para peserta diskusi didominasi oleh kalangan aktivis mahasiswa yang haus pengetahuan sejarah, yang oleh Adhitia dibalut dalam karya naskah drama.
Baca juga: Melalui Buku ‘Tuhan Tak Pernah Salah’, Sulis Bambang Gugah Kesadaran Sosial
Meski dua naskah lainnya juga berkisah dengan latar belakang menarik, buruh dan nelayan, Kup memiliki daya tarik tersendiri. Ini karena Kup berlatar belakang peristiwa ’65, yang dikenal dengan Gestok atau G30S. Sudah barang tentu peristiwa itu menjadi materi yang sensitif, tak lain karena peristiwa bersejarah tersebut dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang keberadaannya mulai dilarang sejak lahirnya Orde Baru.
Adhitia menceritakan, awalnya ia memperoleh referensi bacaan tentang perjalanan tokoh besar PKI, D.N. Aidit, ke Jawa Tengah dan singgah di Solo saat peristiwa Gestok meletus.
Dalam referensi tersebut, Adhitia mendapati fakta bahwa perjalanan D.N. Aidit bukanlah dalam rangka pelarian, sebagaimana diceritakan dalam sejarah mainstream, tapi sedang mengemban tugas kepartaian. Masih dalam referensi sama, di Solo, D.N. Aidit bertemu dengan kader PKI yang juga merupakan Wali Kota Solo.
Momen pertemuan di Solo itulah yang menjadi dasar Adhitia mengembarakan imajinasinya dalam membuat naskah Kup. Adhitia memfiksikan dialog dua tokoh PKI tersebut menjadi rangkaian drama.
Baca juga: Babahe Luncurkan Buku Bapak Pucung Gaul, Macapat Berbahasa Indonesia
“Saya membayangkan kira-kira apa yang mereka bicarakan pada pertemuan itu. Lalu saya buat dialog, kemudian jadi naskah drama ini,” ujar Adhitia.
Salah seorang peserta diskusi mempertanyakan dasar apa yang digunakan Adhitia untuk memfiksikan dialog D.N. Aidit dengan Wali Kota Solo. Sang penulis pun menjawab bahwa dalam sebuah karya fiksi terdapat kebebasan bagi penulis untuk tidak harus berpedoman pada fakta otentik, sekalipun dengan latar belakang cerita yang realistik.
Editor: Ahmad Muhlisin