BETANEWS.ID, SEMARANG – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng menyebut, pembangunan kawasan industri di daerah pesisir menjadi salah satu faktor yang memperparah krisis iklim di Jateng.
Sebab, kebutuhan air tanah dengan jumlah besar untuk operasional industri menyebabkan penurunan muka tanah sekitar 8-18 sentimeter tiap tahunnya.
Direktur Eksekutif Walhi Fahmi Bastian menerangkan, jumlah tersebut tidak sebanding dengan kebutuhan air yang digunakan masyarakat dengan prakiraan 1 meter kubik.
“Yang menyebabkan land subsidence semakin cepat ya karena adanya pabrik, karena ada ekstrasi air tanah besar-besaran,” ujar Fahmi.
Ditambah lagi, lanjut Fahmi, dengan persoalan iklim mencairnya es di kutub yang menyebabkan air laut menjadi naik. Kenaikan tersebut diperkirakan 1-3 sentimeter per tahunnya.
“Angkanya kecil, tapi kalau muka tanah juga turun, itu bisa jadi penyebab Semarang semakin cepat tenggelam. Bahkan dalam laporan konferensi perubahan iklim PBB, IPCC salah satu riset terkait dengan iklim, memperkirakan Semarang masuk dalam tiga kota besar yang akan tenggelam, setelah Jakarta,” jelasnya.
Fahmi pun menuturkan, daripada pemerintah membangun infrastruktur guna mengatasi banjir, lebih baik pemerintah mengutamakan penataan wilayah pesisir dahulu.
“Sebenarnya permasalahannya ada di tata ruang. Karena kalau kita melihat pesisir Semarang, Kendal, dan Demak itu kan kawasan industry. Padahal, wilayah tersebut jadi wilayah rawan bencana, yang harusnya dikembalikan secara fungsinya. Tapi ini malah ditambah beban dengan infrastruktur industri yang malah memperparah wilayah pesisir,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurutnya perubahan peruntukan lahan di Semarang terjadi secara signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Wilayah atas yang menjadi zona penyangga telah mengalami perubahan fungsi menjadi kawasan permukiman, pusat pendidikan dan kawasan komersial. Sementara untuk wilayah bawah, terutama pesisir mengalami kerusakan ekosistem akibat alih fungsi kawasan mangrove dan masifnya proyek reklamasi untuk industri dan perumahan mewah.
Editor: Kholistiono