SEPUTARKUDUS.COM, KRANDON – Suara lantunan ayat Al-Quran terdengar dari dalam masjid Al Falah komplek Pondok Pesantren Muhammadiyah Kudus. Tampak puluhan wanita sedang membaca Al Quran di ruang utama masjid. Namun ada pula dari mereka yang terlihat menghafal dengan disimak beberapa ustazah. Santri yang menghafal Al Quran tidak hanya berada di dalam masjid saja, melainkan juga ada di dalam kelas.
Di dalam kompleks pondok pesantren tersebut, menurut Direktur Pondok Pesantren Muhammadiyah Kudus Nadhif (33), hanya ditempati santri perempuan saja. Sementara untuk santri laki-laki sudah dipindah di Pondok Pesantren Muhammadiyah yang berada di Desa Singocandi, Kecamatan Bae. Dia mengungkapkan, pondok Muhammadiyah yang dikelolanya yakni satu-satunya pondok milik Muhammadiyah di Kudus yang manajemennya langsung di bawah kepengurusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kudus.
“Iya ini satu-satunya pondok Muhammadiyah yang ada di Kudus, ” ungkapnya saat ditemui di komplek Pondok Pesantren Muhammadiyah Kudus, Desa Krandon, Kecamatan Kota Kudus, beberapa waktu lalu.
Sebelum dipindah di Singocandi, untuk santri laki-laki, menurutnya dua tahun yang lalu masih berada satu komplek di pondok Krandon. Karena dinilai semakin banyak santri yang tinggal, akhirnya dibuatkanlah gedung baru di atas tanah 8.000 meter. Di gedung tiga lantai yang berada di Singocandi menurutnya dihuni 187 santri laki-laki. “Untuk di sini (Krandon) terdapat 196 santri putri dari jumlah keseluruhan santri 383 anak,” tambahnya.
Nadhif menjelaskan, Pondok Pesantren Muhammadiyah Kudus memiliki lembaga sekolah formal yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Menurutnya, siswa yang bersekolah di MTs maupun di MA Muhammadiyah diwajibkan untuk tinggal di pondok yang disediakan. “Latar belakang adanya lembaga tersebut karena Muhammadiyah kekurangan akan kader. Kader yang secara penuh tidak hanya pintar organisasi melankan juga ilmu keagamaan,” tuturnya.
Berdirinya Pondok
Sambil duduk di kursi ruang tamu, Nadhif menjelaskan adanya Pondok Pesantren Muhammadiyah berawal dari kebutuhan siswa SMA Muhammadiyah yang berasal dari luar daerah. Menurutnya, ketika itu SMA Muhammadiyah tidak memiliki asrama yang digunakan untuk menampung siswa. Karena dinilai perlu, dari kesepakatan pengurus dan wali murid akhirnya dibuatkanlah asrama sekitar tahun 1990 yang terletak di Prambatan. “Saat itu ada 10 anak yang tinggal. Bangunan yang digunakan asrama yakni rumah pengurus,” tuturnya.
Selanjutnya, asrama siswa juga sempat berpindah di gudang tembakau Desa Janggalan sebab bertambahnya siswa. Karena menanggung operasional yang mahal serta kebutuhan akan sekolah kader Muhammadiyah, akhirnya tahun 2000-an dibuatkanlah Pondok Pesantren Muhammadiyah di Krandon.
“Yang dulunya ditangani SMA (Muhammadiyah) diambil alih oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kudus. Dulu dinilai penting ada sekolah kader, supaya efektif dibuatlah pondok pesantren,” teranganya.
Menurut Nadhif, pengambilalihan pondok bersamaan dengan MTs dan MA Muhammadiyah yang sebelumnya sudah berjalan. Menurutnya, MTs dan MA sudah ada di Kudus sejak tahun 1980-an. Saat itu, MTs masih ikut dengan SD Muhammadiyah dan MA di SMPN 1 Kudus. Jam belajar mengajar pun dilakukan pada siang hari. “Dulu berjalan sendiri-sendiri. SMA senidiri, MTs dan MA pun sama,” ungkapnya.
Akhirnya, di atas tanah 6.000 meter dibangunlah Pondok Pesantren Putra dan Putri serta sekolah MTs dan MA Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, tahun 2014 Pondok Pesantren Muhammadiyah membuat bangunan baru di Singocandi yang digunakan untuk pondok putra dan kelas MTs putra. Saat ini di Pondok Muhammadiyah Krandon hanya digunakan untuk tempat tinggal santri putri, sekolah MTs putri dan MA putra dan putri.
“Dulu setiap angkatan hanya dua kelas saja. MTs dua kelas dan MA dua kelas. Sekarang MTs tambah dua kelas lagi menjadi empat kelas. Satu kelasnya rata-rata 30 siswa. Namun saat wisuda MA ada 71 siswa yang ikut. Jadi untuk MA setiap kelasnya lebih dari 30,” terangnya.
Dia menambahkan, sebenarnya, minat masyarakat untuk sekolah dan mondok di Pondok Pesantren Muhammadiyah banyak. Namun karena kurangnya fasilitas, akhirnya hanya sesuai kuota saja yang bisa masuk. Selama di pondok, para santri akan dibimbing enam ustaz dan delapan ustazah. Selain belajar ilmu agama, mereka juga melakukan tadarus dan hafalan Al-Quran. Menurut Nadhif, setelah lulus MA, santri wajib hafal Juz 30, satu dan dua. “Target itu, namun jika ada yang lebih akan lebih baik,” tuturnya.
Untuk kegiatan lainnya paling banyak dilakukan setelah Salat Ashar. Misalnya, ekstra kaligrafi, seni baca Al-Quran, pidato dan badminton. Juga ada ekstra menjahit dan memasak untuk perempuan. Setelah itu dilanjutkan, pendalaman materi agama setelah Salat Isya’ selama sekitar 40 menit dan seterusnya belajar mandiri.
“Untuk puasa hanya Senin, Kamis dan puasa sunnah saja. Di Bulan Ramadan ini santri konsentrasi pada target hafalan,” tambahnya.