Katharina Ardanareswari
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang
Mi instan kuah hangat, terutama di saat dingin dan hujan, telah menjadi comfort food saya selama ini. Apalagi setelah kehujanan dan badan terasa kurang enak, mi kuah telur panas yang gurih dan sedikit pedas menjadi solusi praktis untuk segera menghangatkan dan menjaga kondisi tubuh saya.
Sebagai individu yang pernah merasakan jadi anak rantau di luar negeri, mi instan Indonesia juga punya nilai sentimental sebagai penyambung rasa yang akrab antara saya dan rumah. Sepertinya kegemaran akan mi instan memang jamak di Indonesia, mengingat bahwa World Instant Noodle Association melansir bahwa konsumsi mi instan di Indonesia adalah yang terbesar kedua dunia, mencapai angka 14 miliar porsi pada tahun 2022.
Dari angka tersebut, dapat dikatakan bahwa rata-rata satu orang Indonesia mengkonsumsi setidaknya satu bungkus mi instan setiap minggu.
Sebenarnya, Indonesia telah melarang penggunaan etilen oksida sebagai pestisida. Akan tetapi, keberadaan residu etilen oksida dalam bahan pangan masih ditolerir oleh pemerintah.
Berita tentang mi instan merek tertentu yang dilarang di Taiwan karena mengandung karsinogen etilen oksida di atas ambang batas, cukup menjadi perhatian. Walaupun kemudian diklarifikasi bahwa temuan tersebut berasal dari distributor tidak resmi dan seharusnya produk tersebut tidak dipasarkan di Taiwan, tetap saja temuan karsinogen tersebut cukup meresahkan.
Berbagai media kemudian bersemangat untuk mengedukasi publik mengenai etilen oksida, di antaranya menyatakan etilen oksida sebagai karsinogen dan genotoksik yang terutama terkait dengan leukimia dan kanker payudara, mengikuti keputusan US Environmental Protection Agency (USEPA) pada tahun 2016 lalu. Akan tetapi, apakah “kepanikan” ini sepadan dengan risiko paparan etilen oksida?