31 C
Kudus
Kamis, Maret 20, 2025

Tradisi Nyadran, Upaya Mengingat Leluhur di Bulan Ruwah yang Ada Sejak Zaman Majapahit

BETANEWS.ID, SUKOHARJO – Setiap bulan Ruwah, masyarakat Jawa selalu melaksanakan tradisi Sadranan, terutama di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Biasanya, warga dan abdi dalem menggelar upacara Nyadran, salah satunya di Pasarean Dalem Keraton Kartasura di Kabupaten Sukoharjo.

Pegiat Sejarah dan Budaya Solo Raya, Raden Surojo menjelaskan, Tradisi Nyadran sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit.

Warga mengikuti tradisi sadranan di Pasarean Dalem Keraton Kartasura. Foto: Khalim Mahfur.

“Nyadran itu berasal dari Bahasa Sansekerta atau Jawa Kuno, ‘Sadara’. Sadara itu adalah artinya mengingat roh leluhur, Tradisi Nyadran atau Sadara ini dimulai dari Zaman Majapahit,” paparnya, Sabtu (26/3/2022).

-Advertisement-

Raden Surojo menerangkan, waktu itu, Patih Gajahmada mengusulkan kepada Raja Hayam Wuruk untuk mengingat kembali leluhurnya, yakni Raja Gayatri.

Baca juga: Warga Gelar Tradisi Sadranan di Pasarean Dalem Keraton Kartasura

Usulan tersebut akhirnya diterima oleh Raja Hayam Wuruk dan kemudian ia memerintahkan para Brahmana untuk menyiapkan sesuatu yang berkaitan dengan tradisi, seperti tata upacara.

“Akhirnya, tradisi Sadara pada masa Majapahit itu dilakukan di candi-candi sebagai perwujudan para leluhurnya, seperti Candi Kidal dan sebagainya,” terangnya.

Seiring berjalannya waktu, Nyadran terus berkembang dan dilakukan hingga pada masa Kerajaan Demak. Surojo menerangkan, Kerajaan Demak merupakan kelangsungan Kerajaan Majapahit.

Akhirnya, tradisi Nyadran semakin lama berkembang hingga saat ini. Masyarakat, khususnya dari suku Jawa  masih terus menggelar tradisi tersebut untuk mengenang para leluhurnya.

“Jadi dari awal terus berkembang hingga masuk pada masa Islam. Hanya saja tata caranya agak berbeda dengan tradisi pada masa awal, karena sekarang menyesuaikan dengan ajaran Islam, mungkin tata cara atau doanya,” paparnya.

Adapun tradisi Nyadran dilaksanakan setiap bulan Ruwah, bermula saat masa Sultan Agung yang menetapkan tahun Jawa, yang memadukan kalender Islam dan kalender Saka. Dalam kalender Jawa tersebut, dijelaskan Surojo, ada 12 bulan. Salah satunya adalah bulan Ruwah.

“Bulan Ruwah kalau orang Jawa itu mengatakan untuk unggahan. Artinya menaikan doa kepada para leluhurnya,” paparnya.

Baca juga: Asal-Usul Tradisi Sewu Sempol di Punden Keramat Masin Kandangmas

Kemudian, pada bulan Ruwah tersebut dilakukan Tradisi Nyadran sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya. Sejak itu, anak serta keturunan masyarakat Jawa diajari untuk melakukan bersih-bersih makam, kenduri, dan lainnya di makam leluhurnya.

“Ini adalah sebagai wujud doa anak turun yang dimakamkan di situ kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa semoga leluhur mereka itu dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa,” katanya.

Lebih lanjut, Surojo menerangkan bahwa pelaksanaan tradisi Nyadran sebelum Ramadan memang sudah dimulai sejak era Kerajaan Mataram Islam dan  Sultan Agung. Ia mengatakan masyarakat Jawa memiliki kebiasaan melakukan tradisi saat bulan Ruwah.

“Dan itu mungkin merupakan suatu momentum agar ada kesamaan aksi atau kegiatan yang diikuti oleh masyarakat umum maupun oleh kerajaan atau keraton. Sehingga nanti ada semacam kebersamaan, baik dalam hal upacaranya maupun dalam sebaainya. Dan itu berlangsung hingga saat ini,” paparnya.

Surojo juga berharap agar tradisi Nyadran juga dilakukan oleh generasi muda. Ia berharap agar generasi muda mengetahui bahwa Nyadran merupakan sebuah akulturasi budaya yang harus dilestarikan.

“Tradisi Nyadran itu merupakan tradisi yang sudah ada sejak dulu dan bentuk akulturasi budaya, karena ini tidak hanya salah satu agama saja. Bahwa dalam Islam pun tradisi ini tetap berlangsung,” tutupnya.

Editor: Ahmad Muhlisin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERPOPULER