SEPUTARKUDUS.COM, REJOSARI – Perempuan berambut panjang menangis tersedu di tengah rumpun bambu, Desa Rejosari, Kecamatan Dawe, malam lalu. Perempuan bernama Tiyas itu menarik lelaki berselendang merah hingga terjatuh. Sementara, sekelilingnya sejumlah orang masih sibuk dengan perlengkapan elektronik di atas tampah-tampah.
Anggota Teater Djarum mementaskan “Petuah Tampah” di Balai Budaya Rejosari, Kecamatan Dawe, Kudus, Rabu (25/5/2016). Foto: Imam Arwindra
Dia berpindah-pindah menarik baju orang di sekelilingnya. Wanita tersebut masih saja tidak dipedulikan. Akhirnya dia menangis menuju sebuah tampah dan memukulnya beberapa kali.
Peristiwa itu merupakan satu dari beberapa adegan pentas Teater Djarum berjudul “Petuah Tampah” di Balai Budaya Rejosari, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Rabu (25/5/2016) malam.
Asa Jatmiko, sutradara “Petuah Tampah” menuturkan, kemajuan teknologi modern, terutama teknologi komunikasi, diakui maupun tidak merupakan arus besar yang menjadikan banyak nilai di dalam masyarakat terputus dan terkoyak.
“Digambarkan mereka sibuk dengan barang elektroniknya dan tidak mempedulikan lingkungan sekitar,” ungkapnya ketika dalam forum diskusi kebudayaan setelah pementasan.
Menurutnya, orang-orang terdekat sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya kepribadian manusia, terutama seorang anak. Anak-anak akan menjadi sebuah pribadi yang tumbuh, berkembang dan menemukan saripati dari nilai-nilai kehidupan yang bermakna.
“Keluarga, kemudian lingkungan tetangga yang mempengaruhi perkembangan anak,” ungkapnya, saatu diskusi budaya usai digelarnya pentas Petuah Tampah. Dalam diskusi tersebut, selain Asa, ada dua orang yang juga menjadi narasumber. Di antaranya, Romo Haryono, Teresa Rudiyanto dan Maria Magdalena Burnomo.
MM Burnomo sedang memaparkan pendapatnya tentang pentas “Petuah Tampah” yang dibawakan Teater Djarum. Foto: Imam Arwindra
Tampah Sebagai Simbol dan Pengikat Leluhur
Teresa Rudiyanto, penggagas ide cerita Petuah Tampah menuturkan, pengambilan tampah dalam pentasnya memiliki sebuah nilai kehidupan. Selain mengeksplor satu benda supaya mengingat leluhur, dia berfikir tampah bisa menjadi perenungan akan tumbuhkembangnya kepribadian anak manusia di dalam kehidupan yang bagaikan cakra manggilingan (roda yang terus berputar). “Berdenyut, berkesinambungan dan terus hidup,” ungkapnya.
Menurutnya, dalam lingkungan masyarakat, tampah merupakan media bersosialisasi, bertegur sapa, serta terjalinnya upaya saling membutuhkan dan saling menopang. Tampah menjadikan sebuah media pertemuan langsung berbagai kepribadian manusia.
“Tampah fungsinya sangat melekat di kehidupan masyarakat. Sehari-hari dipergunakan untuk memilah-milah padi bernas, tempat nasi tumpeng untuk syukuran, tempat bumbu dapur dan dalam masyarakat Jawa juga dipergunakan untuk alat tetabuhan untuk mencari anak yang dibawa wewe,” tambahnya.
Teresa yang asli Temanggung menuturkan, awal munculnya ide “Petuah Tampah” saat kita akan pentas di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Kita ingin mengeksplore kebudayaan lokal yang berada di Indonesia Barat. Supaya kita selalu mengingat leluhur, akhirnya memilih satu benda yang dekat dengan masyarakat yaitu tampah.
“Di dalam tradisi Jawa, tampah memiliki arti filosofi, yakni nampa atau menerima,” jelasnya.
Pentas “Petuah Tampah” Teater Djarum ini didukung oleh 13 orang pemain dengan tokoh utama Jasmi sebagai Tyas. Menurut Asa, pertunjukan “Petuah Tampah” menggabungkan unsur gerak dan dialog serta perlambangan atas simbolisasi yang ditawarkan.
“Gagasan ‘Petuah Tampah’ ini dicetuskan oleh Teresa Rudiyanto. Kemudian penyusunan naskan dan sutradara saya sendiri (Asa Jatmiko),” ungkapnya.
-Advertisement-
Berikut cuplikan video pentas “Petuah Tampah” di Balai Budaya Rejosari, Kudus. Video oleh: Prabu Sipan
Beta adalah media online yang lahir di era digital. Berita yang disajikan unik, menarik dan inspiratif. Serta dikmas dalam bentuk tilisan, foto dan video.