Lahir di Wonosari, Gunungkidul 1973, darah seni Giwang Topo mengalir dari sang ibu yang merupakan seorang penari. Semasa kecil, Giwang sapaan akrabnya ikut belajar seni tari di sanggar milik orang tuanya. Selain tari, di sanggar itu dia juga belajar musik.
Hidup di lingkungan seniman, membuat Giwang semakin tertarik menggeluti dunia seni, lebih khusus seni musik. Setelah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), anak terakhir dari lima bersaudara itu kemudian ikut bergabung di band kakak laki-lakinya.
“Di rumah dulu jadi tempat sanggar kumpul kesenian, mulai tari, gamelan hingga musik keroncongan. Akhirnya saya dan saudara di rumah juga hobinya seni. Tapi cuma ada satu kakak perempuan yang menekuni tari dan sekolah jurusan tari,” ungkap Giwang saat ditemui di Kebun Pucuk Pecukilan, Bae, Kudus (7/12/2023).
Memasuki Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), Giwang semakin tertarik menggeluti dunia seni setelah ikut ekstrakurikuler teater. Di teater, Giwang terlibat dalam mengisi musiknya.
Lulus SMEA, Giwang lalu minta izin kepada ibunya untuk melanjutkan kuliah di jurusan seni. Namun, hal itu tak mendapat restu, karena ibunya menilai dunia seni akan memberi pengaruh negatif kepada Giwang.
“Kalau ibu saya pengen anaknya tidak jadi seniman, karena kehidupan seniman itu dipandang nakal. Jadi saya boleh lanjut kuliah tapi mengambil jurusan bahasa inggris di Akademi Bahasa Asing (ABA),” bebernya.
Meski sekolah di akademi bahasa, Giwang mengaku tetap aktif di dunia teater. Bahkan, ia sering main ke kampus-kampus temannya untuk berteater. Tak hanya itu, Giwang juga mendirikan Teater Sukma di kampus ABA.
“Padahal ibu pengen saya jadi pegawai negeri, tapi saya tetap mencari dunia itu,” katanya dambil tersenyum.