BETANEWS.ID, SEMARANG – Seratusan petani dari Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Pati, kembali mendatangi Kantor Wilayah ATR/BPN Jawa Tengah. Mereka menuntut agar Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT Laju Perdana Indah yang lokasinya berada di Desa Pundenrejo untuk dicabut.
Mereka juga menuntut proses penyelesaian konflik agraria yang ada di Pundenrejo serta mengembalikan tanah yang disebut dirampas oleh PT LPI dari petani.
Baca Juga: Buat Pojok Statistik, BPS Pati Bakal Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi
Dalam menyampaikan protes dan tuntutannya itu, petani menggelar istighosah di depan gerbang Kanwil ATR/BPN Jateng. Mereka melantunkan selawat dan doa-doa ketika berada di depan kantor BPN Jateng.
Dalam rilis yang diterima betanews.id, seratusan petani yang melakukan protes tersebut ditemui oleh perwakilan Kanwil ATR/BPN Jateng.
Pada saat itu, perwakilan ATR/BPN Jateng tersebut menyampaikan hasil dari verifikasi atau melihat secara langsung di lapangan, bahwa hasilnya menyatakan, PT LPI melakukan penanaman tebu di lahan yang saat ini sedang bersengketa itu.
Namun, disebutkan, bahwa PT LPI tidak melakukan pelanggaran ketentuan penggunaan HGB.
“Bahwa apabila HGB-nya tidak sesuai izin tersebut, tinggal diubah saja izinnya,” ujar Syafri, Staf Kanwil ATR/BPN Jateng, Senin (25/9/2023).
Pernyataan itu, disebut sangat disayangkan oleh petani Pundenrejo. Sebab, Kanwil BPN Jateng tidak mau mengakui pelanggaran yang dilakukan oleh PT LPI.
“Pernyataan seperti ini seakan-akan Kanwil tidak mau untuk mengimplementasikan reforma agraria,” ungkap Udin, salah satu petani Pundenrejo.
Dalam pertemuan tersebut petani juga meminta dokumen salinan hasil riset Kanwil ATR/BPN Jateng. Namun, hal itu tidak dituruti oleh Kanwil BPN Jateng, alasannya hal tersebut merupakan dokumen internal.
Sehari sebelumnya, petani juga menggelar aksi di lokasi lahan yang saat ini bersengketa. Petani, juga melakukan tuntutan yang sama, yaitu pencabutan HGB PT LPI.
Sementara itu, Fajar Andhika, perwakilan dari LBH Semarang menyampaikan, bahwa perampasan lahan yang dilakukan oleh PT LPI bertentangan dengan semangat reforma agraria yang dicanangkan oleh negara. Yakni, negara mempunyai kewajiban untuk melakukan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan.
“Berdasarkan data Catatan Akhir Tahun LBH Semarang tahun 2020 menggambarkan, bahwa di Jawa Tengah terdapat 36 kasus dengan jumlah korban sebanyak 2.352 dengan aktor pelanggaran HAM. Paling banyak dari Pemerintah Pusat, sebanyak 24 kasus lewat kebijakan Proyek Strategis Nasional. Berbagai lahan pertanian di Jawa Tengah akhirnya beralih fungsi guna diperuntukan berbagai Innfrastruktur, PLTU dan kawasan industri, ” ucapnya.
Hal itu, katanya terjadi di Batang, di mana lahan pertanian yang digarap masyarakat seluas kurang lebih 250 hektare, berubah menjadi kawasan industri. Kemudian tanah pertanian seluas 20 hektare juga dirampas untuk pembangunan PLTU Batang.
Selain alih fungsi lahan pertanian, konflik agraria, katanya juga banyak terjadi pada sektor perkebunan dan kehutanan.
“Sebagaimana di Pundenrejo, penyelesaian konflik agraria sejak tahun 2000 tidak mendapatkan perhatian yang serius. Padahal sejak tahun 1950, petani Pundenrejo sudah menguasai dan memanfaatkan lahan. Akan tetapi tahun 1973 tiba-tiba lahan tersebut berubah status menjadi HGB milik PT Bappipundip dan kemudian saat ini beralih pada PT Laju Perdana Indah,” sebutnya.
Baca Juga: Peringati HSN, BPS Pati Ajak Masyarakat Sadar Pentingnya Statistik
Ia menerangkan, sejak tanah tersebut dikuasai oleh PT Bappipundip dan PT Laju Perdana Indah, keduanya telah menelantarkan tanah bahkan menyalahgunakan lahan HGB.
“PT Laju Perdana Indah justru menggunakan lahan tersebut untuk menanam tebu. Padahal berdasarkan Pasal 86 Peraturan Menteri Agraria No 18 Tahun 2021 menyatakan HGB diberikan untuk kegiatan usaha nonpertanian,” pungkasnya.
Editor: Haikal Rosyada