BETANEWS.ID, SUKOHARJO – Siang itu, di petilasan Keraton Kartasura tampak ramai orang. Kawasan yang saat ini difungsikan sebagai makam dari kerabat keraton itu dikunjungi oleh banyak orang. Mereka membersihkan makam dan juga mendoakan kerabat yang telah wafat.
Selain itu, tepat pada Kamis pekan ketiga bulan Ruwah atau Sya’ban ada berbagai kegiatan yang dilakukan yang disebut tradisi Sadranan. Seperti kerja bakti membersihkan makam dan juga melakukan doa bersama menjelang bulan Ramadan.
Kepada Betanews.id, Juru Kunci Petilasan Keraton Kartasura, MNNg Surya Hastono Hadi Projo Nagoro menuturkan bahwa tradisi Sadranan di Petilasan Keraton Kartasura sudah dilakukan sejak lama, yakni dari sekitar tahun 1945 silam.
Baca juga: Warga Sukoharjo Berebut 1.000 Dawet dan 19 Tumpeng di Grebeg Sadranan 2023
Diterangkannya, beberapa rangkaian acara yang dimaksud adalah bersih-bersih makam, baik dari sentono atau kerabat Keraton Kasunanan maupun warga sekitar. Kemudian juga melakukan doa dzikir tahlil bersama-sama dengan menggunakan tumpeng dan dilanjutkan makan bersama.
“Tiap tahun dilakukan acara seperti ini, kemudian juga tempatnya juga seperti ini, waktunya juga seperti ini dan harinya juga sama, yaitu adalah setiap Kamis ketiga bulan Ruwah, kemudian dilakukan upacara,” kata dia saat ditemui di petilasan Keraton Kartasura, Kamis (16/3/2023).
Seiring berjalannya waktu, berbagai kegiatan lain juga dilakukan seperti kirab, serta berbagai aktivitas lainnya yang melibatkan masyarakat sekitar. Dengan demikian, terjadilah interaksi antara pihak Keraton dengan berbagai elemen masyarakat lainnya.
“Mulai dari pagi yang pertama itu mulai dari jam 6.00 sampai jam 12.00 WIB itu bersih atau resik, atau bersih-bersih makam ahli waris dan lingkungannya. Kemudian setelah jam 12.00 ada kirab dan dilanjutkan dengan upacara inti yaitu Sadranan,” paparnya.
Lebih lanjut, MNNg. Surya Hastono menerangkan bahwa Sadranan berasal dari kata Nyadran dari bahasa Jawa dan Srada dari bahasa Sansekerta yang berarti mengunjungi atau menengok makam nenek moyang untuk mendoakan.
Baca juga: Warga Gelar Tradisi Sadranan di Pasarean Dalem Keraton Kartasura
“Artinya adalah kita mengunjungi atau menengok makam keluarga atau trah atau nenek moyang untuk mendoakan agar supaya beliau-beliau yang sudah tiada ini diterima amal baiknya kemudian ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya dilapangkan kuburnya seperti itu,” terangnya.
Pada saat upacara inti, biasanya masyarakat membawa tumpeng dan dilanjutkan dengan doa bersama. Setelah selesai, tumpeng tersebut dinikmati besama-sama, yang menggambarkan keharmonisan antara masyarakat.
“Biasanya masyarakat nanti akan mengambil dari tiap-tiap tumpeng itu, mereka ibaratnya ngalap berkah (mengharap keberkahan) untuk mengambil sesuatu, ibaratnya mengambil keberkahan dari situ (mengambil makanan yang ada di tumpeng),” ujarnya.
Editor: Ahmad Muhlisin