BETANEWS.ID, SEMARANG – Masyarakat sekitar Tugu Soeharto, tepatnya di Jalan Menoreh Raya, Bendan Duwur, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang, memiliki tradisi kungkum kali (berendam di sungai) pada malam 1 Sura. Tepatnya di pertemuan arus sungai antara Kali Garang dan Kali Kreo.
Sebagian masyarakat percaya, dengan ritual kungkum pada malam 1 Sura, bisa mendapatkan berkah dan keselamatan ke depannya serta akan dikabulkan keinginnya.
Mengenai tradisi ini, salah satu tokoh masyarakat sekitar, Supadi (62), mengatakan tradisi kungkum pada malam 1 Sura di kampungnya, sudah berjalan sejak lama. Yakni sekitar tahun 1965 dan belangsung sampai sekarang.
Baca juga: Peserta Kirab Malam 1 Sura di Pura Mangkunegaran Tak Boleh Bicara, Pakai Alas Kaki, dan Selfie
“Tradisi kungkum kali ini sudah berlangsung lama sekali, kira-kira tahun 1965. Ini tradisi kuno dan berlansung sampai sekarang. Sempat berhenti dua tahun kemarin karena pandemi, tapi alhamdulillah sekarang bisa digelar lagi,” katanya.
Supadi mengaku, adapun cerita lama yang ia dapatkan dari kakeknya mengenai tradisi kungkum di dekat Tugu Soeharto, ia menyebutkan ada dua versi.
Untuk versi pertama ia menyampaikan, bahwa dahulu, saat pertempuran 5 hari di Semarang, presiden Soeharto sempat melarikan diri dari kejaran penjajah dan bersembunyi di batu besar di sekitar sungai, yang sekarang dibangun tugu.
“Versi pertama itu. Diceritakan Soeharto saat itu memimpin perang di Semarang. Kemudian karena terdesak, ia lari ke selatan dan kebetulan di tengah sungai itu ada batu besar dan kemudian sembunyi di situ dan tidak ketahuan, aman. Akhirnya, saat jadi presiden, dibuatlah Tugu Suharto itu,” jelasnya saat menceritkan kisah dari kakeknya.
Kemudian untuk cerita versi kedua, lanjut Supadi, mengenai tradisi kungkum kali pada malam 1 Sura, yakni saat ada dua sungai yang alirannya saling bertemu, disebutkan orang Kejawen percaya bisa untuk ngalap berkah atau mengambil berkah.
“Kalau cerita kedua, kalau ada sungai yang aliranya saling bertemu, kalu di sini aliran Sungai Garang dan Sungai Kreo kan bertemu. Masing-masing aliran memiliki suhu berbeda, nah orang Kejawen percaya, sungai seperti itu dipercaya bisa untuk menambah ilmu serta kekebalan dan menyuci pustaka. Kegiatan seperti ini tidak bisa hilang sampai sekarang dan terus berjalan,” lanjut dia.
Supadi mengatakan, warga sekitar berupaya untuk tetap mempertahankan apa yang telah ditinggalkan oleh leluhur sebelumnya untuk generasi mendatang.
“Karena kita sebagai pemangku wilayah, jadi kita tetap menghormati beliau yang datang ke sini untuk kungkum. Kita terima, kita nggak ada uang masuk, hanya ambil parkir saja,” ujarnya.
Kemudian untuk para pengunjung yang datang, saat ini sebagian besar datang dari masyarakat Kota Semarang sendiri.
“Dulu waktu aliran sungainya masih deras, yang kungkum ke sini dari berbagai daerah. Tapi karena sekarang aliran airnya mulai sedikit, sekarang yang datang kebanyakan dari masyarakat Semarang sendiri,” katanya.
Baca juga: Kebo Bule Jadi Daya Tarik Utama Kirab Malam 1 Sura di Keraton Solo
Ia pun menjelaskan, berdasarkan berbagai cerita masyarakat, Tugu Soeharto didirikan oleh Romo Diyat, yaitu pengikut Kejawen Kolonel Soeharto saat menjabat Pangdam Diponegoro tahun 1956-1960. Romo Diyat juga termasuk guru spiritual Kejawen ternama di Semarang yang menjadi pembimbing Soeharto semenjak masa muda hingga mencapai puncak kariernya.
Tugu Soeharto sendiri dibuat pada 30-9-1965 hingga 1-10-1965. Pemilihan lokasi di muara Kali Garang karena memang pertemuan dua kali tersebut menjadi tempat aktivitas ritual kungkum para pengikut Romo Diyat, termasuk Soeharto di tahun 1950-an.
Editor : Kholistiono