SEPUTARKUDUS.COM, PURWOSARI – Di timur Jalan HM Subchan ZE Kelurahan Purwosari, Kecamatan Kota, Kudus, tampak sebuah bangunan berlantai dua. Di lantai satu bangunan tersebut terlihat sebuah toko yang dipenuhi dengan kain. Di dalam toko tampak seorang perempuan berjilbab sedang sibuk menerima telepon. Perempuan itu bernama Muslimah (62) pemilik toko kain Eshabe.

Seusai menelepon, Muslimah sudi berbagi kisah kepada Seputarkudus.com tentang usahanya. Dia mengungkapkan, sebelum mendirikan toko kain bernama Eshabe, setelah menikah dirinya mendirikan usaha konveksi tepatnya pada tahun 1970. Menurutnya, awal mendirikan usaha tersebut dia mempekerjakan sekitar dua orang penjahit saja.
Baca juga: Usaha Konveksinya Tutup, Muslimah Jual Grosir Kain dan Meraup Omzet Rp 10 Juta Sehari
“Meskipun awal usaha konveksi hanya kecil-kecilan dengan hanya ada dua penjahit, namun lambat laun usah konveksiku ini bisa berkembang dan mendapatkan banyak pesanan. Bahkan saat itu aku pernah mempekerjakan penjahit sebanyak 50 orang,” ungkap Muslimah yang lupa persisnya tahun kejayaan usaha konveksinya dulu.
Dia mengatakan, pada tahun antara 1970 hingga tahun 1980 usaha konveksi di Kudus masih minim persaingan. Karena itu, kata dia, usaha konveksi yang dia rintis bersama suaminya saat itu cepat berkembang. Menurutnya, saat itu pesanan pembuatan pakaian tidak hanya datang dari Kudus, melainkan juga dari daerah sekitar Kudus.
Selama memiliki usaha konveksi dia selalu mengikuti perkembangan tren bentuk pakaian yang diminati saat itu. Lalu dia membuat contohnya dan ditawarkan kepada para pelanggannya, yang kebanyakan para pedagang pakaian di masing-masing daerah mereka tinggal. Kebanyakan bentuk yang ditawarkannya selalu disetujui para pelanggan dan banyak diminati pembeli.
“Sebagai seorang pemilik usaha konveksi memang harus selalu bisa inovasi dan membacatren bentuk pakaian apa yang akan disukai banyak orang. Jangan hanya menunggu pesanan datang saja, kalau hanya nunggu, ya lama berkembangnya,” tutur Muslimah sambil tersenyum.
Karena selalu berinovasi dan selalu bisa membuat pakaian yang selalu laris di pasaran, dia mengaku bisa menerima pesanan pembuatan pakaian ribuan pcs setiap bulan. Bahkan, kata dia saat masa kampanye pemilu pada masa Orde Baru, hampir semua pembuatan kaus Golkar di wilayah Kudus dibuat dikoveksi miliknya.
Perempuan yang sudah dikaruniai enam anak serta 12 cucu itu mengungkapkan, puncak keemasan usaha konveksi miliknya berangsur-angsur pudar memasuki akhir tahun 1980. Pada tahun tersebut pakaian produksinya kalah bersaing dengan produksi pakaian dari Solo serta Bandung yang memiliki harga lebih murah.
Selain persaingan dengan pakaian produk Solo dan Bandung, kata dia, usaha konveksi di Kudus pada saat itu mulai menjamur yang berdampak pada konveksinya. Pada tahun 1990 dia memutuskan menutup konveksi dan beralih membuka toko yang menjual kain kiloan yang diberi nama Toko Eshabe.
“Meskipun aku gagal menjaga konsistensi sebagai pengusaha konveksi, namun dari usaha tersebut aku mendapatkan pelajaran dalam menjalani dinamika hidup. Dari usaha konveksi itu juga, aku dan suami mendapatkan ide membuka toko kain dan bertahan hingga sekarang,” ungkapnya.