SEPUTARKUDUS.COM, KOTA KUDUS – Awan gelap menyelimuti saat ibadah Jumat di Masjid Agung Kudus beberapa waktu lalu. Di tepi jalan tak jauh dari gerbang Masjid Agung, datang seorang kakek mengenakan sarung dan baju koko. Tangan kanannya memegang tongkat, dan tangan kiri memegang pundak putranya. Mereka yakni Ali (55) dan Muhamad Ma’ruf (15).
Ali dan anaknya saat pulang ke rumahnya di bantaran Sungai Gelis, Kudus. Foto: Ahmad Rosyidi |
Rintik hujan mulai turun, saat Ali yang tak bisa melihat dan putranya yang berkebutuhan khusus duduk di tepi jalan. Dia enggan measuk ke dalam masjid, karena putranya memakai celana pendek. “Anak saya pakai celana pendek, saya di sini saja,” tutur Ali kepada Seputarkudus.com.
Karena hujannya mulai deras, akhirnya Ali masuk ke serambi masjid dan duduk di emperan masjid. Usai salat, pria yang tinggal di bantaran Sungai Gelis, Kota, Kudus, ini berjalan menuju rumahnya. Sambil berjalan dia mengaku sempat kesasar saat berangkat ke masjid, karena putranya sering lupa jalan. “Putra saya ini memang ‘kurang’, jadi ya seperti ini. Tadi berangkat ke masjid malah diajak muter-muter,” ungkap Ali.
Ali mengaku meski dirinya tidak bisa melihat, namun dirinya selalu mengutamakan ibadah. Ibadah-ibadah sunah pun dia jalankan. Dia mengaku pernah mondok di pesantren selama tiga tahun, di Kajen, Pati. Dia belajar mengaji dengan cara mendengarkan, karena memang sudah tak bisa melihat sejak lahir.
“Untuk urusan ibadah saya selalu berusaha menjalankan sebaik mungkin, termasuk ibadah sunah, misalnya puasa dan salat-salat sunah,” tuturnya.
Menurut Ali, lampu hidup itu ada dua, yang pertama akal dan yang kedua mata. Jika akalnya buta, hidup kita akan tersesat. “Akan lebih parah jika sampai buta akal, bisa tersesat hidup. Hidup ini cuma sebentar, jadi jangan sampai diperbudak dengan urusan duniawi,” kata ali.
Pria kelahiran Jepara itu mengaku pindah ke Kudus karena tidak ingin merepotkan saudara-saudaranya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, dirinya berhenti belajar di pesantren karena masalah biaya. Setelah itu dia tinggal bersama saudaranya di Jepara. Seiring berjalannya waktu, Ali merasa tidak nyaman karena merepotkan saudaranya terus menerus. Dia memutuskan untuk merantau ke Kudus sekitar tahun 1980.
“Awalnya saya minta-minta di Makan Sunan Muria, kemudian ada yang mengajak saya ke Kaligelis kemudian saya menetap di sini. Pekerjaan saya ya masih minta-minta di Menara sampai saat ini,” tambahnya.