KUDUS-Jenis kuliner burung goreng, memang sudah banyak, dan mudah ditemui. Namun, sajian kuliner burung yang satu ini, cukup beda. Di sebuah warung sederhana, di Desa Kalirejo, Kecamatan Undaan, Kabupatem Kudus ini, menyajikan kuliner burung atau sering disebut masyarakat Kudus, iwak manuk, hasil tangkapan dari sawah.
Tak ada papan nama khusus di warung tersebut. Namun, bagi pecinta masakan burung goreng di Kudus, warung itu sangat dikenal dan khas. Karena masakan burung yang disajikan, merupakan burung liar, bukan burung hasil peternakan. Tak jarang, para pejabat tingkat kabupaten, kepolisian, anggota Dewan, menyempatkan singgah di warung tersebut, untuk merasakan lezatnya iwak manuk itu.
“Banyak pejabat daerah yang sering singgah di warung kami, untuk menikmati iwak manuk yang kami sajikan. Kadang mereka memborongnya, untuk dibuat oleh-oleh,” kata Muntiah (43), pemilik warung iwak manuk, Kamis (29/12) kemarin.
Muntiah mengatakan, warung miliknya itu memang hanya menjual sajian jenis masakan burung. Jenis masakan yang dibuat cukup beragam, di antaranya burung goreng, semur, dan lodeh. Namun, yang menjadi favorit adalah sajian burung goreng, dengan nasi panas dan sambal yang khas.
Menurut Muntiah, dirinya adalah generasi ketiga yang mengelola warung tersebut. Sebelum dirinya, warung itu dikelola ibu dan neneknya. Puluhan tahun, warung itu menjadi tujuan banyak masyarakat, tidak hanya di Kecamatan Undaan, namun juga di seluruh Kabupaten Kudus, bahkan dari luar kota.
“Awalnya, dulu di Undaan banyak masyarakat yang menjual burung hasil tangkapan dari sawah. Burung-burung itu merupakan hama pemakan padi milik petani. Oleh nenek saya, burung-burung itu kemudian dimasak dan dijual kepada masyarakat. Ternyata, respon dari masyarakat sagat bagus, sehingga warung ini menjadi terkenal,” ujar Muntiah.
Muntiah menambahkan, jenis burung sawah yang disajikan ada beberapa macam. Yakni, burung belibis, peruk, blekek, dan bontot. Setiap porsi iwak manuk yang dijual, Muntiah hanya menghargai senilai Rp 11 ribu. Dalam setiap porsi itu, dilengkapi dengan nasi panas, sambal dan lalapan.
Di warungnya itu, Muntiah mempekerjakan lima orang pekerja. Mereka bekerja menyembelih burung, membersihkan bulu dan organ dalam, membuat bumbu dan memasak. Aktivitas para pekerjanya, dimulai pada sore hingga malam. Pada pukul 08.00 hingga pukul 16.00, masakan iwak manuk, siap untuk disajikan kepada para pelanggan.
Sulit Mendapatkan Burung Liar di Sawah
Menurut Muntiah, saat ini dirinya sulit medapatkan burung liar dari sawah. Haya di musim-musim tertentu saja, ketersediaan burung hasil tangkapan dari sawah, cukup mudah didapatkan. Biasanya, di bulan Februari dan Agustus, banyak pemburu burung yang datang untuk menjual hasil tangkapan.
“Saat ini untuk mendapatkan burung sawah sangat sulit, di luar Februari dan Agustus, kami harus rela pergi ke Sukolilo, Pati, untuk mendapatkan burung sawah,” ujarnya.
Untuk mengganti burung sawah yang saat ini sulit didapatkan, biasanya dirinya mengganti dengan jenis burung puyuh hasil ternak dari masayrakat di Kudus. Namun, kurang diminati, karena rasanya yang cukup berbeda dengan burung liar dari sawah.
“Kalaupun ada burung sawah yang dimasak, biasanya, sebelum waktu makan siang, masakannya selalu habis dibeli oleh para pelanggan. Dan yang tersisa hanya burung puyuh,” ujarnya. (suwoko)