Yanto mengaku mulai mengukir sejak masih anak-anak, tepatnya saat masih duduk di sekolah dasar (SD) kelas dua. Saat itu ia mulai belajar mengukir langsung dari ayahnya, bernama Sunardi, yang juga pengukir macan kurung. Menurutnya, semua keturunan Singo Sawiran bisa membuat ukir macan kurung.
“Karena keturunan Singo Sawiran, saya dulu membuat ukir macan kurung itu langsung bisa. Kalau tidak keturunan tidak bisa, harus belajar dulu,” ungkapnya.
Menurutnya, membuat macan kurung butuh ketelitian, kejelian, fokus serta pikiran harus tenang. Selain itu juga tidak boleh melakukan kesalahan. Sebab ukir macan kurung tak boleh ada sambungan atau tempelan.
“Jadi memang butuh kesempurnaan, tak boleh melakukan kesalahan dalam mengukir macan kurung. Salah sedikit bisa fatal, gagal total ganti kayu utuh lagi dan mengulang dari awal,” bebernya.
Macan Kurung Kian Tak Lagi Diminati
Dia mengatakan, sebelum tahun 2000 peminat ukir macan kurung masih banyak. Meski tidak pernah ada pesanan dari luar negeri. Setidaknya, saat ramai ia bisa mendapatkan pesanan 15 ukir macan kurung dalam setahun.
“Paling banyak itu setahun pernah dapat pesanan membuat 15 ukir macan kurung. Pemesannya orang-orang Jepara sendiri,” ungkapnya.
Yanto mengatakan, peralatan untuk membuat macan kurung sudah lama terbengkelai. Dia tidak ingat lagi, dimana peralatan-peralatan yang dulu pernah dia gunakan.
Dia tak menampik bahwa di Kabupaten Jepara ada perajin macan kurung selain keturunan Singo Sawiran. Namun, menurutnya itu tak sesuai pakem filosofi ukir macan kurung aslinya. Bahkan, banyak ukir macan kurung yang ditempel atau pakai kayu sambungan.
“Di Jepara masih ada perajin ukir macan kurung, tapi tidak asli. Banyak sambungannya, tidak kayu utuh yang dipahat jadi ukir macan kurung,” ujarnya.
Tim Lipsus 13: Ahmad Rosyidi (Reporter/Host), Rabu Sipan, Kaerul Umam (Reporter/Videografer), Suwoko (Editor), Andi Sugiarto (Video Editor), Manarul Hidyat (Videografis), Lisa Maina Wulandari (Translator), Ludfi Karmila (Transkriptor) Dian Ari Wakhidi (Perlengkapan)