Penulis: Anna Shafiya Faizatunnisa’
Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang

Kompleksitas kehidupan keagamaan yang kita alami pada saat ini menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan yang sangat ekstrem. Berbeda sekali dengan masa-masa sebelumnya, karena keadaan dunia saat sekarang tengah memasuki era disrupsi, sehingga dalam kehidupan keagamaan pun kita dapat menyebut adanya disrupsi beragama.

Moderasi beragama merupakan suatu cara pandang, sikap dan perilaku seseorang yang selalu mengambil dan memposisikan diri di tengah-tengah. Selalu bertindak berimbang, adil, dan tidak ekstrem dalam pelaksanan praktik agama. Norma umum yang harus ada pada setiap individu pemeluk agama, apapun suku, etnis, budaya, agama dan pilihan politiknya, yakni harus bisa saling mendengarkan satu sama lain. Selain itu juga harus saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi suatu perbedaan pemahaman keagamaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata disrupsi didefinisikan sebagai “hal tercerabut dari akarnya”. Biasanya, disrupsi dikaitkan dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, yang pada saat ini memasuki revolusi industri digital 4.0. Era disrupsi mengakibatkan terjadinya perubahan radikal dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali bidang kehidupan keagamaan.

Istilah disrupsi tekni ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, komputasi, otomasi, dan robotisasi. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan suatu perubahan radikal yang sangat cepat dan mengakibatkan efek domino yang luar biasa masif, ter­masuk dalam perilaku beragama. Internet juga mengubah pola perilaku beragama.

- advertisement -

Empat Kompetensi di Era Disrupsi Teknonologi

Hidup di era teknologi informasi dan terjadinya disrupsi saat ini, kita perlu memiliki empat kompetensi. Kemampuan atau kompetensi yang pertama yaitu kemampuan berpikir kritis untuk memisahkan fakta dan hoaks serta kemampuan memilah informasi yang valid dan terpercaya. Kemampuan yang kedua yaitu, kemampuan berkomunikasi yang efektif serta negosiasi dan penguasaan teknologi komunikasi. Kemampuan yang ketiga yaitu mampu berkerjasama dalam berbagai hal dan bidang, dengan siapapun dan di manapun. Dan kemampuan yang terakhir yaitu kemampuan untuk berinovasi, menciptakan hal-hal baru yang menakjubkan.

Sebagai kaum muda yang tanggap terhadap disrupsi yang terjadi saat ini, kita harus bisa memahami bagaimana Islam dimaknai dan dipraktikan di bagian lain dunia. Memahami bagaimana Islam dimaknai dan beradaptasi dengan unsur kearifan dan budaya lokalnya, juga menjadi sangat penting. Serta, harus memiliki perspektif yang moderat, tidak ekstrem dan tidak liberal adalah sebagai kunci bagaimana menghadapi disrupsi dengan moderasi agama.

Perkembangan teknologi yang menyebabkan disrupsi berdampak pada cara pandang dan sikap beragama seseorang. Kehidupan manusia yang serba hampir sangat mudah, cepat, dan instan dengan teknologi digital, menyebabkan terjadinya deprivatisasi keberagamaan. Ajaran agama yang pada mulanya hanya diberikan oleh pihak-pihak yang otoritatif kini menjadi sangat terbuka. Kini siapa saja merasa berhak menafsir agama dengan bantuan mesin pencari, meskipun dengan ilmu yang sangat terbatas.

Hal tersebut membentuk sikap beragama yang sekehendak hati, hitam-putih, ekstrem, bahkan menyesatkan. Terkadang juga ada yang mendorong pada sikap beragama yang simbolik. Maka perlu penyikapan dengan penguatan literasi keagamaan, edukasi publik, dan membawakan ajaran agama secara diskursif dan mencerahkan. Semua umat beragama perlu membuka diri terhadap perubahan, open minded, berdamai atau adaptif dengan kondisi disrupsi saat ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini